Monday, August 26, 2013
Thursday, August 15, 2013
Penangkapan Kepala SKK Migas Dan Masa Depan Regulator Hulu Minyak Dan Gas Indonesia
Tadi pagi saya lumayan terkejut melihat berita di TV nasional mengenai operasi tangkap tangan terhadap DR. Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas yang baru dilantik 7 bulan lalu. Di samping Rudi ditangkap pula perantara dan pemberi uang yang berasal dari swasta (diduga dari KO). Sesudah mandi dan minum kopi maka saya yakin bahwa berita ini benaran, bukan gosip.
Keterkejutan ini hanya sementara saja karena saya kembali teringat beberapa cerita mengenai tindak tanduk oknum SKK Migas / dulunya BP Migas ketika melakukan rig visit, field visit dan sebagainya. Di samping itu melakukan sedikit browsing internet maka diketahui KO merupakan perusahaan perdagangan minyak mentah berbasis di Singapura. Seperti kita ketahui dari berbagai media KO memenangkan tender perdagangan minyak mentah dari SKK Migas di tahun-tahun sebelumnya tapi belum di tahun 2013 ini. Dari sini kita bisa analisis sendiri kenapa ada pemberian uang/gratifikasi yang mencetak rekor sebagai jumlah uang terbanyak dalam operasi tangkap tangan KPK.
Perhitungan matematis bisnis mengenai transaksi ini sederhana saja :
Jatah minyak mentah milik negara yang akan dialokasikan ke trader : x barrel/hari
Gross margin yang diambil oleh trader sesudah berhasil menjual ke berbagai kilang di luar negeri : y USD
Jumlah hari : 300 hari (anggap saja tidak setiap hari ada shipment atau pembelian)
Maka dengan berandai-andai saja bahwa :
Jatah minyak mentah milik negara yang dialokasikan ke trader KO : misal 30,000 barrel/hari (produksi minyak Indonesia sekitar 900 ribu barrel/hari sehingga ini berkisar sekitar 3.33% dari total lifting minyak mentah Indonesia).
Gross margin yang diambil oleh trader : 1 USD
Jumlah hari : 300 hari
Gross margin per tahun : 30,000 x 1 x 300 USD = 9,000,000 USD
Nett margin sendiri bisa kita perkirakan masih besar karena aktivitas trading company hanyalah semacam broker saja yaitu mendapatkan pembeli di luar negeri dan menyiapkan logistik pengiriman. Tidak ada produksi maupun resiko besar yang harus ditanggung. Dengan jaringan bisnis yang sudah ada ditambah internet dan telepon maka bisnis sudah bisa dijalankan dengan baik. Lebih sempurna lagi apabila trading company memiliki storage/oil bunker yang memberikan fleksibilitas lebih luas yaitu menyimpan minyak pada saat harga rendah sekali, untuk dijual di kemudian hari pada saat harga cukup bagus. Bukankah prinsip dasar dagang sederhana saja : buy low, sell high atau paling tidak buy high, sell higher.
Fokus utama tulisan ini sebenarnya bukan untuk analisa keekonomian trader minyak mentah tapi lebih pada mengambil hikmah kasus Kepala SKK Migas dan menjadikan ini sebagai momentum perbaikan regulator migas hulu Indonesia untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Sesudah pembubaran BP Migas paska keputusan Mahkamah Konstitusi maka terjadi pergantian cepat institusi BP Migas menjadi SKK Migas.
Perbedaan antara BP Migas dan SKK Migas sebagai berikut :
BP MIGAS
Kepala BP Migas bertanggung jawab dan melapor langsung kepada Presiden
Tidak ada dewan pengawas
SKK MIGAS
Kepala SKK Migas bertanggung jawab dan melapor kepada Menteri ESDM
Ada dewan pengawas
Secara garis besar bisa dilihat bahwa perbedaan yang ada tidak terlalu signifikan. Perubahan terjadi pada reporting line : dari ke Presiden menjadi ke Menteri ESDM dan kehadiran dewan pengawas. Penugasan dan pola kerja SKK Migas masih sama dengan BP Migas.
Merujuk pada UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”. Dari sini bisa kita lihat perlunya negara berperan dalam penguasaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya (dalam hal ini migas dan bahan mineral). Tata cara pengelolaan yang baik tentu saja menjadi prasyarat untuk pemanfaatan migas yang baik untuk kemakmuran rakyat.
Ada beberapa aspek industri migas yang perlu diketahui sebelum kita melangkah lebih jauh :
1. Kemampuan lapangan/hands-on professional migas dan birokrat masih dan akan jomplang.
Jam terbang di dunia perminyakan sangatlah penting. Pengeboran di offshore beda dengan onshore. Pengeboran di lapangan yang memiliki suhu dan tekanan tinggi akan berbeda dengan pengeboran di lapangan berkondisi sebaliknya.
Birokrat dan akademisi yang notabene duduk di belakang meja akan memiliki kemampuan lapangan yang berbeda. Saya pernah kerja di rig di mana company man-nya adalah pengajar senior di Akademi Migas ternama di Jawa Tengah. Saya menyaksikan sendiri bagaimana company-man bingung dan panik luar biasa karena terjadi kondisi-kondisi di luar teori yang dia ajarkan sendiri di Akademi tersebut.
2. Kegesitan dan kewirausahaan dunia corporate versus birokrasi pemerintahan
Sudah sering kita dengar betapa lambatnya birokrasi pemerintahan di negeri kita seperti : proyek MRT yang sudah didiskusikan konon 17 tahun silam dan baru terlaksana sekarang di era Pak Jokowi. Ada perbedaan mindset nyata antara dunia corporate dan birokrasi pemerintahan.
Dunia corporate mengandalkan pada strategi, kewirausahaan dan kecepatan eksekusi. Sementara birokrasi pemerintahan bersandar pada banyak sekali rambu dan prosedur yang harus dipenuhi. Dan ini belum termasuk dukungan politik dari kanan-kiri yang diperlukan untuk survive di posisi empuk / puncak tersebut.
3. Masa lalu Pertamina yang menjadi regulator dan operator juga
Kita bisa flash back ke masa di mana Pertamina menjadi regulator dan operator sekaligus. Yang terjadi adalah kompetensi dan unjuk kerja Pertamina bisa disalip dengan cepat oleh Petronas dan NOC lainnya seperti CNOOC. Kenapa ? Alasannya sangat sederhana. Anda tidak bisa menjadi pemain dan wasit sekaligus. Ketika terjadi maka akan ada satu sisi yang terbengkalai. Dalam hal Pertamina maka fungsi operator relatif jalan di tempat. Kita lihat bagaimana proses transformasi Pertamina sesudah fokus menjadi operator sangat cepat dan patut diacungi jempol. Pertamina berhasil menjadi perusahaan pertama nasional yang masuk Fortune 500 di bawah kepemimpinan Ibu Karen yang dulunya kerja di perusahaan multinasional sekelas Exxon dam Halliburton.
4. Resiko hukum ketika Indonesia vs Incorporation di luar negeri
Ketika terjadi masalah hukum antara perusahaan migas dengan regulator Migas maka ada potensi tuntutan hukum yang bisa dibawa sampai ke Arbirtrase atau Pengadilan Internasional. Ketika entitas perusahaan menuntut SKK Migas/ BP Migas/serupa maka mereka sebenarnya sedang menuntut Negara Indonesia sendiri. Apabila terjadi tuntutan luar biasa besar, tidak masuk akal dan dimenangkan pula maka Negara Indonesia harus menanggung beban ini.
Kita tentu saja tidak ingin ini terjadi,terlebih kita pernah menanggung renteng Lumpur Lapindo lewat pajak yang kita bayar.
Saya pribadi melihat pembentukan sebuah BUMN baru yang menjadi perwakilan Pemerintah Indonesia sebagai regulator hulu migas sebagai ide yang jauh lebih baik.
Kenapa ?
1) Sebagai regulator hulu migas maka mindset dan kompetensi yang ada diharapkan hampir sama dengan perusahaan migas dalam dan luar negeri
2) Diperbolehkan mengambil keuntungan secara hukum dan tentu saja diharapkan mengambil keuntungan sebesar mungkin bagi Negara.
Keuntungan ini bisa diperoleh melalui :
a) Penjualan minyak bagi hasil untuk pemerintah dengan harga sebaik mungkin, tanpa aneka rupa perantara lagi
b) Insentif atas keberhasilan menekan biaya eksplorasi dan produksi migas nasional.
Contoh : apabila rata-rata biaya produksi migas 25 USD dan berhasil ditekan menjadi 20 USD maka 1 USD saving bisa diambil sebagai profit yang akan kembali lagi ke negara dalam bentuk dividend / pembagian hasil usaha dari saham.
3) Kecepatan bertindak dan bereaksi lebih cepat tanpa terlalu banyak campur tangan politik. Pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisaris, Kementerian, DPR dan tentu saja civil society.
4) Resiko tuntutan hukum
Apabila terjadi tuntutan hukum oleh perusahaan migas mitra kerja dan berdampak luar biasa besar bagi Negara Indonesia maka BUMN regulator ini bisa melakukan aksi-aksi korporasi untuk menekan dampak bagi Negara seperti : perdamaian, restrukturisasi sampai memailitkan diri. Ketika sebuah perusahaan pailit maka kewajiban mereka sebatas aset yang dimiliki saja tanpa berimbas kepada pemegang saham yang notabene adalah Pemerintah Indonesia.
5) Paket kompensasi karyawan yang bisa dibuat lebih bersaing dan menarik dengan perusahaan migas mitra kerja ataupun luar negeri.
Sebagai BUMN maka paket kompensasi bisa dibuat bersaing dan menarik sehingga :
a) Talent-talent Indonesia di luar negeri yang apatis bekerja menjadi birokrasi bisa ditarik balik
b) Peluang korupsi diperkecil
Demikianlah sedikit pemikiran dari saya yang pernah jadi “kuli minyak” sekian tahun. Semoga bisa berguna bagi kemajuan industri migas nusantara.
Subscribe to:
Posts (Atom)