Wednesday, January 14, 2015

Konsep Poros Maritim Dunia dan Tol Maritim Untuk Ketahanan Migas Nasional


Poros maritim dan tol maritim adalah konsep yang sering kita dengar belakangan ini sejak Jokowi dilantik menjadi Presiden RI Oktober silam. Ada banyak seminar dan juga ulasan yang muncul sesudahnya sebagai tanggapan atas konsep yang diutarakan oleh Presiden Jokowi ini. Sebagian besar tanggapan adalah positif dan mendukung. Di luar negeri sendiri Xi Jin Ping, Presiden Tiongkok sebelumnya pernah mengutarakan konsep Jalur Sutera Maritim Abad 21 yang meliputi Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur. Presiden Xi Jin Ping sendiri mengutarakan pembentukan Silk Road Fund/Dana Jalur Sutera sebesar 40 milyar USD ( setara 480 trilliun Rupiah) yang ditujukan untuk mendukung kerjasama infrastruktur,sumber daya,industri,keuangan dan kerjasama lainnya yang berhubungan dengan konektivitas sepanjang jalur sutera darat dan maritim.

Mari kita lihat lebih mendalam mengenai tol laut yang diutarakan oleh Jokowi. Tol laut direncanakan akan menghubungkan dua pelabuhan sebagai hub internasional yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatera Utara di Selat Melaka dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Aliran barang dari dan ke Asia Timur sendiri direncanakan masuk melalui Bitung sementara itu dari dan ke Eropa akan melalu Kuala Tanjung. Untuk mendukung 2 hub internasional ini maka akan disiapkan juga sekitar 20 pelabuhan sebagai feeder buat hub. Total dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan konsep ini adalah US$ 700 milliar (berdasarkan informasi yang diberikan Menko Maritim,Indroyono Soesilo ke pers 8 Desember silam). Sebagai negara kepulauan (17,000 pulau) yang diapit oleh 2 samudera besar yaitu Pasifik dan Atlantik maka Indonesia dilimpahi oleh lautan yang luas untuk dimanfaatkan dan diarungi (saat ini hanya ada 14,000 kapal milik Indonesia). Kutipan cita-cita Presiden Pertama Indonesia, Soekarno mengenai bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim di tahun 1953 silam sebagai berikut : “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri." Sayangnya cita-cita Presiden Soekarno belum terwujud sampai sekarang di tahun 2014 : armada angkatan laut RI masih lemah, laut dijarah oleh para nelayan luar negeri secara terang-terangan,kapal-kapal besar singgah di Singapura sebelum angkutannya dikirim ke Indonesia dengan kapal lebih kecil, ABK Indonesia yang masih menjadi jongos di berbagai kapal asing,impor kapal besar dan lain sebagainya. Kita sungguh merasa prihatin melihat kenyataan ini.

Lalu apa hubungannya tol laut & poros maritime dengan ketahanan migas nasional dan jalur sutera maritim abad 21 versi Tiongkok ? Mari kita review situasi saat ini dulu. Indonesia sebagai negara importir minyak untuk saat ini harus mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak siap pakai dari berbagai negara setiap harinya. Semuanya dikirim melalui jalur laut dari Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tenggara dan Asia Timur. Sementara itu Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi,Maluku,Papua,Papua Barat,NTT) merupakan salah satu wilayah dengan tantangan logistik paling berat. Sebagai konsekuensinya harga barang-barang menjadi super mahal dan juga enggannya berbagai pihak untuk melakukan investasi ekonomi yang sangat diperlukan di sana. Kita sudah sering dengar orang mengantri solar di Sorong dan kota-kota Papua lainnya. Perusahaan migas sendiri berinvestasi di pelabuhan-pelabuhan dan fasilitas shorebase sendiri. Kita ambil dua contoh saja yaitu BP dengan fasilitas terintegrasinya di Bintuni,Papua Barat dan juga Medco yang harus menyiapkan infrastruktur sendiri di Donggi Senoro, Sulawesi Tengah.

Dari situasi yang kurang bagus di atas maka kemudian kita lihat tugas atau action plan apa yang perlu dilakukan untuk melakukan alignment/menyelaraskan program tol laut dengan ketahanan migas nasional dan juga dengan jalur sutera maritim abad 21. Ketahanan migas nasional adalah isu krusial bagi Indonesia dan juga krusial di semua negara. Kita tahu bahwa Amerika Serikat mempunyai cadangan migas yang disimpan di oil bunker untuk menyiapkan diri menghadapi keadaan terburuk apabila pasokan migas dari luar negeri terputus atau terganggu. Tiongkok sendiri sudah cukup lama agresif mencari sumber migas di luar negeri seperti di Indonesia, Sudan,Irak termasuk pembangunan pipa dari Rusia langsung ke Tiongkok. Indonesia sendiri perlu memastikan ketahanan migas nasional yang masih sangat rentan saat ini. Indonesia adalah net importer dengan tingkat produksi minyak sedikit di bawah 1 juta barel per hari, produksi gas yang melimpah dan juga cadangan minyak yang terus menipis. Ekspansi Pertamina dan perusahan nasional ke luar negeri untuk mengamankan aset produksi tambahan di luar negeri adalah langkah maju. Pengiriman migas dari aset produksi di luar negeri dan juga impor dari negara lain perlu dijaga agar tetap aman. Terputusnya pengiriman migas karena gangguan bajak laut,cuaca,perang dan lain sebagainya akan menganggu perekonomian Indonesia secara langsung. Di tambah lagi bahwa kapasitas penyimpanan migas Indonesia (oil bunker) yang masih sangat jauh dibandingkan dengan negara lain.

Ada beberapa situasi atau masalah berkaitan dengan poros maritim dan ketahanan migas nasional yang coba diwujudkan dan dipertahankan.
Situasi atau masalah pertama adalah keamanan jalur impor minyak mentah dan bahan bakar minyak kita disertai aset migas kita di kawasan rawan konflik seperti di Natuna dan Ambalat, Kalimantan Utara. Keberadaan Angkatan Laut yang kuat adalah penting di jalur-jalur seperti Selat Malaka dan Laut China Selatan. Potensi konflik di daerah Laut China Selatan tidak bisa dianggap sebelah mata karena banyaknya negara yang terlibat (Tiongkok,Filipina,Malaysia,Vietnam,Taiwan dsb). Meskipun Indonesia tidak terlibat namun Indonesia perlu mempunyai kekuatan memadai untuk setidaknya sebagai efek penangkal dan pengentar dari serangan negara lain. Presiden Jokowi sudah menjawabnya dengan rencana peningkatan anggaran pertahanan Indonesia secara signifikan. Keberadaan pelabuhan ataupun pangkalan yang memadai bagi Angkatan Laut kita sendiri menjadi hal yang terkait dengan konsep tol dan poros maritim.

Situasi atau masalah kedua adalah susahnya logistik ke Indonesia Timur yang mengakibatkan banyak masalah turunan seperti minimnya investasi,harga mahal,masalah kecemburuan dengan wilayah Indonesia bagian barat dan lain sebagainya. Keberadaan Bitung sebagai main hub bisa menjadi solusi awal untuk kedatangan barang dari jalur Filipina/Samudera Pasifik. Namun hal ini tidak sepenuhnya menjadi solusi tanpa keberadaan pelabuhan feeder dan juga masih banyaknya pengiriman barang termasuk BBM yang dilakukan dari Jakarta dan Surabaya ke Indonesia Timur. Keberadaan pelabuhan feeder di kota-kota seperti Ambon, Sorong, Jayapura,Merauke dan lain sebagainya penting namun harus didukung keberadaan kapal yang lebih banyak,besar kapasitasnya dan lebih baik juga.

Situasi atau masalah ketiga adalah minimnya infrastruktur di daerah eksplorasi dan produksi migas di kawasan Indonesia Timur. Sebut saja daerah Bintuni di mana BP harus membangun fasilitas terminal bandara dan juga pelabuhannya sendiri. Belum lagi investasi yang harus dikucurkan oleh operator lainnya yang baru akan membangun besar-besaran di sana seperti INPEX Masela, ENI Oil, Genting dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa investasi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan minyak ini nantinya akan diganti oleh negara lewat mekanisme cost recovery. Terjadi potensial duplikasi fasilitas di beberapa tempat, ditambah lagi apabila kita menghitung fasilitas pelabuhan kecil yang sudah dibangun oleh perusahaan batubara di Kalimantan Timur, Selatan dan Tengah. Pemerintah bisa membuat pelabuhan berskala internasional di beberapa hub yang kemudian bisa dipakai bersama oleh berbagai industri : migas, batubara, bahan makanan dan lain sebagainya. Konsep ini meniru konsep tower bersama di industri telekomunikasi yang sudah sukses dijalankan beberapa tahun silam. Pooling resources dan cross utilization adalah kunci untuk mendapatkan fasilitas mumpuni dengan dana terbatas di berbagai industri.

Situasi atau masalah keempat adalah keberadaan Indonesia sebagai pendukung saja untuk operasi pembuatan kapal minyak (rig) dan fasilitas kelautan lainnya. Batam sebagai sentra utama industri galangan kapal migas dan kelautan di Indonesia memang hanya sepelemparan batu dari Singapura. Karimun sendiri sudah dijadikan sebagai pusat pembuatan platform dsb untuk Saipem di Asia Pasifik. Tapi perlu diketahui pula bahwa mayoritas pekerjaan galangan kapal migas dan kelautan dunia khususnya yang kompleks dan lebih advance masih dilakukan di Singapura dan Korea Selatan. Kita tahu bahwa Singapura dan Korea Selatan tidak mempunyai operasi eksplorasi dan produksi migas sama sekali tapi mereka berhasil memposisikan diri sebagai centre of manufacturing dan centre of excellence berkat kekuatan SDM,dukungan pemerintah dan kegigihan mereka selama ini. Perusahaan-perusahaan ternama di industri galangan kapal sendiri didominasi dari 2 negara tersebut seperti : Keppel,Sembawang,Daewoo,Hyundai dan Samsung. Apakah ada perusahaan Indonesia yang dikenal di dalam negeri dan luar negeri untuk hal sejenis ? Jawabannya adalah tidak ada. Konsep maritim harus disertai bangkitnya industri galangan kapal dan penunjang maritim dalam negeri. Konsep local content/muatan lokal yang sangat positif sudah mulai diberlakukan oleh SKK Migas beberapa tahun silam tapi sampai sekarang belum kelihatan jelas efeknya ke sektor galangan kapal dan penunjang maritim dalam negeri karena belum munculnya perusahaan lokal yang mampu bersaing di dalam negeri sendiri. Pemecahan masalah ini akan kompleks dan memakan waktu tapi perlu dilakukan mulai sekarang. Keberadaan BUMN seperti PT PAL dan juga galangan kapal dalam negeri dalam proyek-proyek besar migas perlu semakin diintensifkan. Tentu saja perusahaan lokal yang sudah dilibatkan harus mau bekerja keras untuk mengejar ketertinggalannya selama ini. Apabila perusahaan lokal yang sudah dibantu pemerintah dan juga perbankan kemudian menjadi malas dan memilih untuk menjadi subkontraktor/broker perusahaan asing saja maka cita-cita kemandirian teknologi dan ketahanan nasional Indonesia akan sulit terwujud. Rencana pemerintah memberikan insentif pajak untuk sektor galangan kapal adalah terobosan yang perlu dilakukan segera.

Situasi atau masalah keempat adalah koordinasi antara pemangku kepentingan migas dan pelaksana konsep tol maritim. Pemangku kepentingan migas seperti SKK Migas, Kementerian ESDM,BPH Migas, Pertamina perlu duduk bersama dengan pelaksana konsep tol maritim yang dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan, Kemenko Maritim, Kementerian Pekerjaan Umum. Egoisme sektoral perlu dikesampingkan untuk mewujudkan tol maritim yang multi fungsi, efisien dan efektif. Peranan Kementerian Koordinator Maritim dalam hal ini adalah sangat penting dan akan menjadi ujung tombak terjadinya koordinasi antar pemangku kepentingan. Seperti kita ketahui bahwa konsep-konsep besar sudah pernah diutarakan pemerintahan sebelumnya (MP3EI dsb) tapi minim realisasi karena kurangnya atau lambatnya koordinasi yang diperlukan. Mudah-mudahan slogan kerja kerja kerja dan speed di pemerintahan baru ini akan mengatasi hambatan di masa lalu.

Situasi atau masalah kelima adalah dana untuk mewujudkan konsep poros maritim. Kebutuhan dana sebesar US $ 700 milliar atau 8400 trilliun dengan kurs 12,000. Anggaran pemerintah saja tidak akan cukup untuk mendukung implementasi poros maritim. Merujuk pada total nilai belanja negara di tahun 2014 sebesar 1.842,5 trilliun rupiah dan diasumsikan akan ada pertumbuhan di APBN di 2015 dan seterusnya maka kapasitas negara untuk mewujudkan poros maritim sangat terbatas. Kita tahu bahwa APBN sendiri perlu dipakai untuk berbagai pos rutin,subsidi dan juga pembangunan lainnya. Jadi dari mana lagi sumber pendanaan yang bisa diharapkan untuk menambal kekurangan yang masih besar tersebut ? Ada beberapa sumber yang bisa diharapkan yaitu BUMN khususnya BUMN perhubungan seperti Pelindo,Pelni dsb, swasta dalam negeri, Tiongkok yang mempunyai Silk Road Fund, Bank Pembangunan Infrastruktur Asia yang baru saja dibentuk dan sudah diikuti oleh Indonesia dan bantuan bilateral plus investasi negara-negara lainnya yang sudah menunjukan ketertarikan luar biasa pada poros maritim ini seperti : Jepang, Korea dan lain sebagainya. Kekuatan keroyokan semacam ini diperlukan untuk membuat poros maritim ini bukan hanya macan di atas kertas. Mengenai bantuan ataupun investasi dari berbagai negara seperti Tiongkok,Jepang dll maka selalu ada kekhawatiran bahwa sebagian besar bantuan atau investasi tersebut akan dibawa pulang ke negara mereka hampir seketika dengan terlibatnya berbagai perusahaan dari negara asal dalam proyek bantuan/investasi tanpa transfer teknologi yang berarti. Tentu saja pemerintah akan bijaksana dalam memastikan bahwa perusahaan lokal mendapatkan porsi semestinya dan juga dapat belajar untuk upgrading diri/moving up the value chain. Perusahaan lokal tidak akan terus menerus menjadi tukang jahit atau mengerjakan porsi sederhana dari suatu proyek tapi harus dilibatkan secara berani dan bersungguh-sungguh dalam porsi kerjaan yang lebih berat dan menantang. Peranan pemerintah dalam bentuk regulasi dan juga enforcement akan sangat penting untuk melihat ini terjadi. Mekanisme business to business saja tidak akan mampu memecahkan masalah kurangnya transfer teknologi dan pengetahuan dari perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Tiongkok adalah contoh sukses dalam hal ini karena banyak perusahaan migas dan teknologi asing “dipaksa” untuk mengajari perusahaan lokal apabila mereka ingin mendapatkan proyek dan bisnis besar di Tiongkok.

Dari ulasan di atas mari kita bersama-sama memberikan urun rembug dan juga dukungan kita bagi terwujudnya poros maritim dan tol laut di Indonesia khususnya bagi ketahanan migas nasional.