Monday, August 02, 2010

Sekilas Tentang Wacana Pemindahan Ibukota RI

Baru baru ini wacana pemindahan ibukota RI kembali digaungkan dan sempat diulas secara mendetail oleh media massa. Saya tertarik sekali untuk memberikan pendapat saya apalagi saya sempat bertugas 1.5 tahun lamanya di Malaysia yang punya pengalaman memindahkan ibukotanya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya.

Dalam sejarahnya sudah ada beberapa negara yang memindahkan ibukotanya. Sebut saja ada Australia yang memindahkan ibukota dari Sydney ke Canberra, Brasil yang memindahkan ibukota dari Rio De Janeiro ke Brasilia dan Pakistan yang memindahkan ibukotanya dari Karachi ke Islamabad. Yang terbaru tentu saja Malaysia dan Myanmar ( memindahkan ibukota dari Yangoon ke Naypyidaw ).

Ada banyak alasan yang mendorong negara-negara tersebut untuk melakukan pemindahan. Australia memindahkan ibukotanya sekitar 100 tahun lalu dengan alasan mencari suatu tempat yang netral yang bisa dijadikan ibukota dan harus berada di antara Melbourne ( ibukota negara bagian Victoria ) dan Sydney ( ibukota negara bagian New South Wales ). Victoria dan New South Wales adalah 2 negara bagian utama di Australia hingga saat ini. Melbourne dan Sydney adalah 2 kota besar penopang Australia yang saling bersaing saat itu untuk menjadi ibukota.

Sementara itu pemindahan ibukota oleh Myanmar diduga untuk menghindari serangan militer dari US dan sekutunya serta menjauhkan infrastruktur pemerintahan dan militer dari berulangnya kembali chaos tahun 1988. Ada juga teori yang menyatakan bahwa tempat baru dipilih karena posisinya strategis di tengah-tengah Myanmar dan juga alasan mistis. Myanmar sampai saat ini dikuasai oleh junta militer yang sangat paranoia dan tertutup sehingga Naypyidaw yang berada di tengah-tengah hutan mungkin menjadi pilihan terbaik ( tapi jangan lupa kalau US punya satelit mata-mata yang bisa mencapai banyak lokasi di dunia ).

Pemindahan ibukota Malaysia ke Putrajaya di tahun 1999 sendiri ditujukan untuk mengurangi kemacetan di Kuala Lumpur ( KL ) dan juga pemerataan pembangunan ke daerah lembah Klang ( Klang Valley ). Putrajaya tergolong tidak jauh dari KL karena dapat ditempuh dalam waktu 1 jam saja dengan kendaraan pribadi. Perkembangan Putrajaya sendiri cukup bagus sejauh ini tapi tidak sebaik yang direncanakan dulu oleh mantan PM Mahathir di era 1993 - 1995. Sampai saat ini Putrajaya didominasi oleh pegawai pemerintahan dan keluarganya yang tinggal di sana dan tergolong sepi aktivitas di malam hari. Transportasi umum ke Putrajaya sendiri tidak selancar dan semudah seperti yang direncanakan. Belum lagi masih banyaknya kedutaan besar negara asing yang belum pindah ke sana . KBRI sendiri masih berlokasi di Kuala Lumpur hingga saat ini tapi menurut berita sudah membeli sebidang tanah di Putrajaya ( Nantinya kantor KBRI di Kuala Lumpur masih akan difungsikan untuk melayani WNI : keterangan Dubes Dai Bachtiar pada saat acara temu ramah dengan WNI di Kuala Lumpur baru-baru ini ). Perlu dicatat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan membina Putrajaya tidaklah sedikit.

Kembali ke Indonesia yang sudah sekian lama beribukota di Jakarta. Perlu dicatat bahwa Indonesia sempat beribukota di Yogyakarta dan Bukit Tinggi selama revolusi kemerdekaan tapi hanya untuk sesaat saja. Jakarta dengan luas sekitar 650 km2 dan penduduk sekitar 10 juta boleh dibilang sangat padat dan macet sekali saat ini. Dengan status khususnya maka Jakarta dibawahi oleh seorang Gubernur,seorang Wakil Gubernur,beberapa Deputi Gubernur, 5 walikota administratif ( Utara,Pusat,Barat,Timur dan Selatan ) dan Bupati Kepulauan Seribu. Jakarta sendiri juga dilingkari oleh beberapa kota penyangga seperti Tangerang,Bekasi,Depok dan Bogor yang didiami beberapa juta orang lainnya. Istilah yang sering dipakai untuk Jakarta dan kota penyangganya adalah Jabodetabek.

Menurut hemat saya pada dasarnya wacana pemindahan ibukota RI bagus dan idealistis tapi tidak realistis untuk dilakukan saat ini / dalam waktu dekat.

Para pendukung pemindahan ibukota RI ke tempat lain mengutarakan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Mengurangi kemacetan di Jakarta
2. Memperbaiki mutu pelayanan pemerintahan
3. Mengurangi urbanisasi
4. Memeratakan pembangunan
5. Bebas gempa dan tsunami
6. Posisi geografis harus di tengah-tengah Indonesia

Namun ada beberapa sisi negatif / kekurangan / hal yang tidak pernah dilontarkan oleh para pendukung wacana tersebut sebagai berikut :

1. Polemik yang bisa berkepanjangan tentang daerah mana yang akan dipilih sebagai pengganti Jakarta. Ada beberapa daerah yang sempat diusulkan di masa silam seperti Palangkaraya dan Ponggol ( Bogor ). Tidak tertutup kemungkinan banyak daerah lain yang akan mengusulkan diri sebagai ibukota dengan alasannya masing2. Polemik berkepanjangan bukan hanya menghabiskan waktu tapi juga energi yang harusnya bisa digunakan secara positif untuk membangun negeri ini yang masih ketinggalan di banyak sektor.

2. Biaya yang dikeluarkan untuk survey,pembangunan dan pembinaan sebuah ibukota sangatlah besar. Ini belum memperhitungkan lagi adanya kebocoran akibat dana pembangunan dikorupsi para oknum pejabat dan politisi. Kita bisa bandingkan dengan Malaysia yang sudah menghabiskan uang sekitar 20 milyar Ringgit Malaysia ( 56 trilliun rupiah ) untuk pembangunan Putrajaya selama 15 tahun. Pembangunannya sendiri belum selesai saat ini dan diperkirakan dibutuhkan sekitar 5 tahun lagi untuk menyelesaikannya.
Perlu disadari bahwa Indonesia bukanlah negara kaya ( berbeda dengan yang sering didengung dengungkan selama ini ) dan masih banyak berutang di dalam dan luar negeri. Indonesia sendiri masih memiliki banyak kebutuhan mendesak lainnya mulai dari transportasi yang lebih baik,listrik yang masih byar pet ( rasio elektrifikasi baru mencapai 62% ) ,amanat pendidikan yang harus mencapai 20% anggaran,kesehatan universal yang lebih baik buat rakyat, perbaikan pertahanan negara dsb. Alangkah baiknya kita menyelesaikan masalah yang paling urgen dulu sebelum menghabiskan banyak uang untuk ibukota RI yang belum tentu menyelesaikan masalah yang ada.

3. Kembali ke poin 2 bahwa sebagian dana yang ada bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah kemacetan dan banjir di Jakarta. Dana tersebut bisa dipakai untuk membangun jalur MRT utara – selatan dan timur-barat, monorail,KRL yang lebih nyaman,jalur kereta api dari bandara Soekarno Hatta ke Manggarai,busway,banjir kanal timur,Jakarta water front dan lain sebagainya. Dengan menyelesaikan masalah kemacetan sehari-hari ini kita bisa menghapus penderitaan setiap hari yang dialami jutaan warga Jakarta dan maaf-maaf saja salah satu alasan pemindahan ibukota pun akan hilang dengan sendirinya.

4. Alasan logistik untuk mendekatkan ibukota ke kawasan timur Indonesia tidaklah terlalu valid. Saat ini sudah banyak penerbangan murah yang bisa dijangkau oleh warga Indonesia sampai kawasan timur Indonesia untuk mencapai Jakarta. Frekuensi dan mutu penerbangan & pelayaran tinggal diperbaiki saja. Media telekomunikasi dan massa sendiri sudah banyak tersedia mulai dari telepon seluler,internet,tv,radio dan lain sebagainya yang dapat menghubungkan dan menghibur rakyat dari Sabang sampai Merauke.

5. Dekatnya Jakarta dengan pusat populasi dan kegiatan ekonomi di Indonesia yaitu pulau Jawa dan Sumatera. Kita tahu bahwa pulau Jawa dan pulau Sumatera adalah 2 pulau berpenduduk paling banyak. Bila logikanya adalah untuk meningkatkan pelayanan pemerintahan maka ibukota harusnya berlokasi di pulau Jawa karena dekat ke mayoritas rakyat sebagai “customernya”. Pelayanan pemerintahan di daerah Indonesia timur dan tengah sendiri bisa dilakukan dengan baik oleh pemerintahan provinsi,kabupaten,kecamatan dan kelurahan yang sudah hadir di sana.


6. Era digital sendiri memungkinkan banyak aktivitas sehari-hari pelayanan pemerintahan dapat dilakukan melalui internet ( online ) seperti pembuatan NPWP,pelayanan pajak,pembuatan SIM ,paspor,SISMINBAKUM dan lain sebagainya. Di masa depan saya lihat posisi geografis ibukota tidak akan begitu penting lagi ( asalkan pertahanannya kuat dari agresi asing dan tidak gampang kebanjiran ).Di samping itu Jakarta sendiri memiliki infrastruktur komunikasi paling bagus saat ini di Indonesia ( baik internet,telepon selular,tv kabel dsb ).

7. Kita perlu belajar dari pengalaman pemindahan kantor pusat beberapa BUMN ke daerah yang tergolong tidak berhasil. Banyak karyawan kantor pusat yang enggan pindah ke daerah karena berbagai macam alasan mulai dari betahnya mereka di Jakarta yang kaya akan fasilitas,alasan keluarga dsb. Tidak tertutup kemungkinan banyak karyawan pemerintahan pusat yang akan menolak atau enggan untuk pindah ke daerah baru yang dipilih sebagai ibukota RI dengan berbagai alasan personal yang hampir mirip.


Demikian saja sedikit pemikiran dari saya. Saya harap wacana pemindahan ibukota RI bisa didiskusikan dan ditelaah lebih lanjut baik pro dan kontranya. Wacana ini sendiri jangan sampai terjebak pada kepentingan dan keinginan sesaat segelintir orang saja tapi harus membawa manfaat yang signifikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saturday, July 24, 2010

Elpiji Sayang Elpiji Malang

Maraknya pemberitaan akhir-akhir ini tentang tabung gas yang meledak kembali mengugah perhatian banyak pihak mulai dari pemerintah,parlemen,partai politik,LSM dan lain sebagainya.


Program konversi minyak tanah ke elpiji yang sudah berlangsung 3 - 4 tahun ini relatif adem ayem saja selama ini dan tergolong berhasil dengan tingkat partisipasi yang tinggi. Kita bisa melihat bagaimana masifnya pemakaian elpiji saat ini mulai dari penjual makanan kaki lima,restoran,rumah tangga dsb. Program konversi ini dilakukan pada saat harga minyak dunia membubung tinggi ( pernah mencapai 140 USD ) dan subsidi yang harus dikeluarkan untuk minyak tanah adalah sangat tinggi saat itu ( mendekati 50 trilliun rupiah ). Sementara pada saat yang sama Indonesia memiliki elpiji yang jauh lebih murah dan banyak diproduksi sendiri dari berbagai sumur gas. Tentu saja adalah suatu hal yang logis kita berusaha mengurangi subsidi dengan beralih ke elpiji. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya di pemerintah saja yang berhasil mengurangi subsidi hampir 40 trilliun rupiah untuk dialihkan ke sektor lain yang non konsumtif ( seperti pembangunan infrastruktur jalan,listrik dsb ). Masyarakat luas sebagai konsumen sendiri bisa berhemat dari selisih harga pemakaian elpiji yang lebih murah. Kononnya penghematan bisa mencapai Rp. 360,000. Penghematan sebesar ini tentunya sangat membantu bagi masyarakat bawah.


Jauh sebelum program konversi masal ini dilaksanakan sudah banyak orang ( khususnya di perkotaan ) yang memakai elpiji dengan tabung seberat 12 kg. Kita pernah dengar juga kejadian ledakan tabung gas di masa silam tapi tidak ada backlash / antipati yang begitu tinggi dari masyarakat dan media massa. Ada apakah ini ?

Beberapa hal yang menyebabkan backlash dan ketakutan di masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Kuantitas pemakaian memang sudah sangat tinggi saat ini. Tercatat ada 44 juta tabung elpiji 3 kg yang berstandar SNI dan sekitar 9 juta tabung elpiji 3 kg tidak berstandar SNI / ilegal. Bila kita hitung maka ada sekitar 53 juta tabung elpiji. Apabila setiap tabung dipakai oleh 1 keluarga dengan jumlah anggota keluarga 4 orang saja maka 53 juta tabung elpiji 3 kg ini sudah mencakupi hampir 200 juta penduduk. Apabila kita mendengar ada 1 ledakan tabung elpiji saja di seluruh wilayah Indonesia tiap harinya maka secara persentase hanya mencapai :

1 / 53.000.000 x 100% = 1,886 x 10-6 % ( satu koma delapan delapan enam dengan pangkat minus 6 % ).

Ini adalah suatu jumlah yang sangat kecil sebenarnya !

2. Sorotan pemberitaan yang terlalu sering,berlebihan dan berulang-ulang oleh media massa. Don’t get me wrong. Saya sangat mendukung kebebasan pers yang bisa kita nikmati di masa reformasi ini. Pemberitaan tentang ledakan memang punya efek positif ( kontrol dan edukasi ) yaitu mengingatkan orang untuk berhati-hati dalam pemakaian elpiji ,mengingatkan pemerintah untuk fokus mengatasi masalah yang terjadi dan juga memberikan efek takut ke pemalsu tabung ( dengan gencarnya pemberitaan sweeping oleh aparat di berbagai daerah ).
Namun efek negatifnya kadang justru lebih besar yaitu menimbulkan kekhawatiran berlebihan di masyarakat. Masyarakat yang sudah nyaman memakai elpiji pun menjadi takut memakai dan ingin beralih ke sumber energi lain seperti minyak tanah,kayu bakar dsb.

3. Politisasi masalah. Soal ini kita bisa tahu dari banyaknya pihak yang ikut bicara dan mengecam tanpa tahu permasalahan sebenarnya,tidak memberikan solusi konstruktif dsb.


SNI belakangan seringkali dikemukakan / diangkat sebagai alasan mengapa ada tabung yang gampang rusak / meledak.
Tabung Elpiji 3 kg pada dasarnya harus memenuhi standard Safety SNI 19-1452-2001 yang ditetapkan dan diuji oleh Badan Standardisasi Nasional ( Lamannya adalah www.bsn.go.id ). BSN sendiri telah menetapkan 5 SNI terkait tabung gas dan aksesorisnya, sebagai berikut:

• SNI 1452:2007 Tabung Baja LPG;
• SNI 15-1591-2008 Katup Tabung Baja LPG;
• SNI 06-7213-2006 Selang Karet untuk Kompor Gas LPG;
• SNI 7369-2007 Regulator Tekanan Rendah Untuk Tabung Baja LPG;
• SNI 7368:2007 Kompor Gas Bahan Bakar LPG Satu Tungku dengan Sistem Pemantik Mekanik.

Informasi selanjutnya dapat diakses lebih lanjut di website yang tercantum di atas berhubung kalau saya jelaskan akan menjadi terlalu teknis dan detail ( dan saya juga tidak bisa jelaskan lebih lanjut :) ).


Untuk keselamatan bersama pada dasarnya ada beberapa langkah penting yang bisa saya sarankan sebagai penulis untuk kedua belah pihak ( pemerintah dan rakyat sebagai konsumen ).

Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh masyarakat sebagai konsumen :
1. Memeriksa kondisi tabung,selang karet,regulator,katup secara berkala. Lakukan penggantian spare part yang rusak segera. Berdasarkan informasi maka spare part yang dulunya diberikan secara gratis oleh pemerintah perlu diganti setahun sekali.

2. Apabila ada kerusakan ataupun mencium bau kebocoran dari gas maka hentikan pemakaian dan bawa tabung elpiji tersebut ke tempat yang aman ( lapangan ,taman atau dikembalikan ke pengecer / agen elpiji apabila dimungkinkan ). Ketika kita bawa tabung elpiji yang bocor ke lapangan atau taman yang terbuka / luas maka efek ledakan / tekanan akan bisa diminimalisir karena area yang lebih luas dan sirkulasi udara yang cukup. Lain halnya apabila ledakan / tekanan gas terjadi di ruangan sempit ( seperti dapur tanpa ventilasi yang cukup ).

3. Proaktif melaporkan adanya produk-produk palsu tidak berSNI ke aparat yang berwenang ( polisi dsb )


Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah ( melalui PERTAMINA dan berbagai instansi terkait lainnya )

1. Melakukan penyuluhan dan demo pemakaian ulang ke warga-warga. Penyuluhan ulang diperlukan untuk refreshing pengetahuan pemakaian dan juga untuk mencakup sebanyak mungkin warga yang belum tersentuh oleh penyuluhan sebelumnya.

2. Quality control produk elpiji 3 kg dan 12 kg perlu ditingkatkan sehingga tidak ada lagi tabung rusak yang bisa lolos ke pasaran dsb.

3. Tindakan penegakan hukum difokuskan terhadap para produsen dan distributor produk elpiji non-SNI. Kenapa saya sarankan untuk fokus pada para produsen dan distributor ?

a. Karena mereka adalah bagian utama dan pertama dari proses distribusi produk secara keseluruhan. Mereka mensupplai produk ke ribuan pengecer tingkat bawah sehingga efeknya bisa sangat masif. Menangkapi para pengecer di tingkat bawah pada dasarnya tidak akan banyak berarti karena mereka hanya menjual produk yang disupplai oleh para produsen dan distributor nakal tersebut dan seringkali mereka juga tidak tahu bahwa produk yang dijual palsu.

b. Karena jumlah aparat yang terbatas sehingga tindakan perlu difokuskan pada sesuatu yang bisa memberikan efek lebih optimal dalam waktu yang relatif singkat.

4. Perlu dibentuk satgas yang mengkoordinasikan aksi pemerintah menangani kasus ledakan elpiji 3 kg sehingga tidak terjadi tumpang tindih antar instansi di lapangan dan juga jelasnya rantai kendali ( tidak ada ping pong tanggung jawab / antar instansi ). Tentu saja kita tidak ingin bahwa setiap korban ledakan harus ke istana dulu sebelum mendapatkan perhatian dari RS atau Departemen Kesehatan di daerah masing-masing. Kita juga tidak ingin melihat aparat kepolisian justru mensweeping dan menyita produk-produk berSNI yang justru dibutuhkan oleh masyarakat karena kurangnya pengetahuan produk / kurangnya koordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat.


Demikian saja sekelumit pemikiran dari saya. Policy konversi energi yang sebenarnya sangat bagus selama ini sayang sekali apabila direverse atau diganti karena kejadian ledakan tabung elpiji belakangan ini. Kita tentu saja sedih atas terjadinya berbagai kecelakan / ledakan tabung yang memakan korban sampai anak kecil / bayi yang tidak tahu apa-apa. Kita tentu saja tidak ingin sebatas iba atau sedih tapi harus bisa belajar dari berbagai kejadian ledakan tabung ini dan kemudian mencoba memperbaikinya bersama-sama ( continous learning and continous improvement ).Saya harapkan bahwa dari berbagai tindakan perbaikan nyata yang akan dilakukan maka program ini tetap akan on track dan bisa berlangsung dengan lancar seterusnya di masa yang akan datang.

Wednesday, January 06, 2010

Reformasi Subsidi Listrik Yang Menunjang Pencapaian Visi Indonesia 2025

Subsidi adalah kata yang sering kita dengar. Subsidi sendiri berasal dari kata Latin subsidium,yang berarti “ bantuan,support,pertolongan dan proteksi ” . Di jaman pertengahan subsidi sendiri berhubungan dengan pembayaran yang dilakukan terhadap raja. Definisi subsidi sendiri telah berubah seiring jaman dan saat ini subsidi dapat dilihat dalam banyak bentuk di berbagai negara. Sebut saja subsidi bagi para petani di Eropa dan Amerika Serikat. Untuk di Indonesia sendiri kita mengenal adanya subsidi listrik, subsidi BBM dan lain sebagainya.

Kita telah tahu dari berbagai sumber dan pakar bahwa subsidi bisa berdampak negatif yaitu distorsi pasar,tidak memotivasi pengguna untuk berhemat dalam konsumsi dan beban keuangan negara yang besar.Subsidi sendiri seringkali dipertahankan dengan penekanan pada barang atau jasa yang telah dihasilkan,pekerjaan yang berhasil diciptakan,proteksi golongan ekonomi lemah ataupun alasan lainnya. Tentu saja penekanan dapat juga diarahkan pada pengakuan bahwa manfaat dari dana /subsidi tersebut bagi masyarakat jika dipakai dengan cara penyaluran lain atau bila tetap di tangan masyarakat mungkin akan jauh lebih bermanfaat.

Tulisan ini akan mencoba melihat lebih jauh subsidi listrik yang dipercayakan kepada PLN sampai saat ini beserta dampak dan manfaatnya bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Realitas pelaksanaan subsidi saat ini akan ditinjau beserta kemungkinan perbaikan yang bisa dilaksanakan supaya subsidi tepat sasaran dan bermanfaat secara lebih luas bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Lebih jauh lagi ke depan penulis melihat adanya hubungan antara reformasi subsidi listrik ini untuk mendukung pencapaian Indonesia Maju di tahun 2025 ( singkatnya disebut Visi Indonesia 2025 ) yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025.

PLN sendiri saat ini masih menyelenggarakan misi PSO ( Public Service Obligation ) yang dilandaskan pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 66. PSO adalah salah satu tugas mulia nan berat yang berhubungan dengan pelayanan publik. Tujuan pendirian BUMN sendiri yaitu meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum, berupa penyediaan barang dan jasa dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak serta memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Namun, apabila penugasan tersebut secara finansial tidak mungkin dilakukan atau merugi maka pemerintah perlu memberikan kompensasi / subsidi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang dibutuhkan.

Subsidi yang dijalankan PLN sendiri mempunyai kecenderungan terus meningkat. Subsidi meningkat disebabkan oleh beberapa hal mendasar seperti pertambahan penggunaan listrik oleh pelanggan ( pada tahun 2009 sebesar 39,12 juta pelanggan ), peningkatan jumlah pelanggan seiring rasio elektrifikasi yang diharapkan meningkat dan pertambahan penduduk dan juga biaya produksi serta margin yang perlu meningkat.

Subsidi kelistrikan di Indonesia sendiri mengalami proses evolusi seiring waktu yang dapat dilihat pada gambar 2. Pada gambar 2 penulis mengharapkan akan ada fase antara / transisi dari skema subsidi ( PSO ) saat ini ke era di mana tidak ada subsidi sama sekali. Era transisi ini adalah era di mana subsidi akan berkurang,lebih terarah dan lebih memberdayakan ekonomi masyarakat. Subsidi listrik yang telah dikeluarkan melalui APBN pada tahun 2003 sebesar Rp 3,36 triliun, lalu sebesar Rp 3,31 triliun (2004), Rp 10,5 triliun (2005), Rp 33,9 triliun (2006) ,Rp 37,48 triliun (2007) dan Rp 78,57 triliun ( 2008 ). Gambar 1 memberikan proyeksi subsidi listrik sampai tahun 2011. Dari gambar 1 dapat kita lihat bahwa subsidi listrik akan tetap naik bila tidak ada langkah – langkah strategis yang dilakukan secara konsisten.



Gambar 1



Gambar 2

Besaran subsidi sendiri sangat dipengaruhi oleh dua hal pokok yaitu TDL ( Tarif Dasar Listrik ) dan biaya yang diperlukan untuk produksi dan penyaluran listrik. TDL yang lebih rendah dari biaya produksi berarti subsidi diperlukan. Biaya produksi yang terus naik sementara TDL statis berarti subsidi tetap diperlukan. Di samping itu margin yang rendah berarti industri ketenagalistrikan tidak akan begitu menarik dan dinamis.
Margin dibutuhkan untuk mendukung tercapainya neraca keuangan PLN yang sehat dan juga memberikan kapasitas PLN untuk meminjam dana ( khususnya luar negeri ) secara lebih besar dan mudah. Sejak krisis tahun 1997 PLN tidak pernah untung dan ini tentu saja mengakibatkan neraca keuangan yang senantiasa merah. Neraca keuangan yang sehat akan mendukung tercapainya 2 parameter yaitu CICR yang berkaitan dengan limit rasio finansial untuk memasuki pasar obligasi luar negeri dengan nilai minimum 2 dan juga debt service coverage ratio dengan posisi minimum 1.5 untuk mencegah terjadinya default. Posisi keuangan PLN sendiri masih mengkhawatirkan dengan CICR berada pada level 1.89 untuk 2009 dan 1.78 di tahun 2010.

Ada beberapa usulan yang penulis akan ulas untuk mengurangi subsidi,penyaluran subsidi yang lebih baik dan bagaimana membantu PLN menjadi sehat secara keuangan. Pada dasarnya usulan dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yaitu yang dapat dilaksanakan oleh PLN dan pemerintah serta usulan-usulan yang menumbuhkan dan membutuhkan partisipasi aktif pelanggan.

Usulan pertama adalah yang paling sederhana tapi secara politis dan sosial akan rumit yaitu menaikkan TDL. TDL sendiri sampai saat ini masih menjadi domain pemerintah dan ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR.Menaikkan TDL secara langsung akan meningkatkan beban masyarakat khususnya lagi beban masyarakat ekonomi lemah dan juga mempengaruhi perbaikan ekonomi yang diharapkan. Untuk itu diperlukan survey yang komprehensif tentang tingkat penerimaan kenaikan TDL,frekuensi serta persentase kenaikan TDL yang dapat diterima dan diserap oleh masyarakat. PT PLN sendiri menargetkan penghapusan subsidi listrik pada 2012 jika pemerintah menyetujui mekanisme kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 30% seusulan bertahap mulai 2010. Kenaikan tersebut dinilai wajar oleh PLN, karena biaya pokok produksi listrik PLN sangat rendah dibanding harga jual listrik ke masyarakat Selama ini. pemerintah memberi subsidi rata-rata Rp 320 per kilowatthour (kWh) dari biaya pokok penyediaan (BPP) PT PLN sebesar Rp 950 per kwh kepada pelanggan. Rencana pengoperasian proyek listrik 10.000 megawatt (MW) secara bertahap mulai pertengahan tahun depan diharapkan menurunkan BPP hingga Rp 250 per kWh menjadi Rp 700 per kWh. Dengan kenaikan TDL tersebut, manajemen keuangan PLN bisa pulih dan dipercayai oleh perusahaan dan badan donor luar negeri ( seperti ADB dan Bank Dunia ). Sementara itu, PLN juga punya kesempatan dan kemampuan lebih baik melayani 80 juta masyarakat Indonesia yang belum menikmati layanan listrik. Berdasarkan paparan di atas dan demi penyehatan sistem kelistrikan nasional, maka penulis menyarankan diberlakukannya kenaikan tarif secara selektif meskipun tidak seprogresif yang diusulkan oleh PLN, dan atau diimbangi dengan kompensasi atas kenaikan tarif tersebut ( bisa mencontoh skema BLT yang diberikan sebagai kompensasi kenaikan BBM bagi masyarakat kurang mampu ).

Kenaikan tarif selektif dapat kita analisis dari data 2008 bahwa pelanggan industri besar ( I.3 dan I.4 ) dengan penyambungan 200 kVA mewakili sekitar 34% penjualan energi dan 25,9 % dari total subsidi. Kita bisa bandingkan dengan 19 juta rumah tangga kecil ( R.1 – 450 VA ) yang mewakili 13,59% penjualan energi dan 28,7% dari total subsidi saja. Ataupun kita bandingkan lagi dengan Rumah tangga R.2 ( 2200 s/d 6600 VA ) yang memperoleh subsidi Rp. 478,25 / kWh ataupun golongan tarif rumah tangga R.3 ( di atas 6600 VA ) yang memperoleh subsidi Rp. 258,12/kWh. Tanpa menganggu kelas pelanggan rumah tangga kecil ( R1 ) maka ada sekitar 25,9% subsidi yang bisa dikurangi dari kelas industri besar dan sekian persen lagi dari rumah tangga R.2 dan R.3 bila ada perubahan TDL untuk kelas pelanggan ini. Pengurangan subsidi sudah saatnya diterapkan khususnya untuk golongan rumah tangga mampu dan industri besar. Tarif non subsidi bisa dicoba penerapannya ketika crash program pembangkit listrik 10,000 MW sudah benar-benar menyalurkan produksinya sehingga BPP sudah lebih murah. Skenario BPP di tahun 2009 sampai 2011 dapat dilihat pada gambar 3 di bawah. Dengan BPP yang lebih murah di tahun 2010 dan seterusnya maka kenaikan tarif yang diperlukan untuk mengurangi subsidi bagi golongan pelanggan ini tidak menimbulkan shock / guncangan sosial dan kemampuan membayar. Kita tentu saja tidak ingin melihat industri besar ( misal aluminium smelter dan baja yang perlu daya listrik sangat besar ) mengalami kesulitan keuangan karena kenaikan tajam harga listrik.



Gambar 3

Usulan kedua yang penulis sarankan adalah regionalisasi tarif. Regionalisasi tarif dikhawatirkan sebagian pihak akan menimbulkan kecemburuan dan mengancam keutuhan NKRI. Penulis optimis bahwa regionalisasi tarif akan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia bila tarif ini berlandaskan pada prinsip keadilan. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari China,sebuah negara komunis yang notabene sangat menekankan ekualitas atas hak dan kewajiban yang ternyata sukses menerapkan tarif regional ini. Pertama regionalisasi tarif sebaiknya berdasarkan konsep Service Quality dan kemampuan membayar ( capacity to pay ) . Apabila kualitas pelayanan baik ( tentu saja berpatokan pada parameter yang bisa diukur seperti berapa sering pemadaman,kestabilan tegangan ,kecepatan instalasi listrik dan lain sebagainya ) maka selayaknyalah pelanggan membayar lebih daripada pelanggan lain yang mendapatkan kualitas pelayanan yang tidak baik. Secara sederhana bisa dianalogikan dengan layanan internet pita lebar ( broadband internet ).Layanan internet pita lebar terdiri atas banyak kelas dalam hal kualitas di Indonesia. Skema tarif yang diterapkan secara umum berlandaskan pada maksimum kapasitas yang bisa digunakan ( misal 2 GB per bulan ) dengan tarif lebih tinggi untuk penggunaan di atas limit pemakaian ( tarif disinsentif ) serta janji kecepatan download / mengunduh dan upload data. Bila pelanggan mengharapkan kapasitas yang lebih tinggi beserta kecepatan unduh dan upload yang tinggi maka mereka harus bersedia membayar lebih mahal. Analogi ini sendiri dapat disamakan dengan pelanggan listrik yang mengharapkan kapasitas daya lebih tinggi di rumahnya beserta kualitas yang baik.Tentu saja ada pemikiran yang menyatakan bahwa adalah hak pelanggan untuk mendapatkan service quality yang baik dan dengan demikian apabila ada pelanggan yang mendapatkan service quality yang tidak baik maka itu adalah salah / tanggung jawab daripada provider. Pemikiran seperti ini akan menjadi benar jika diajukan pada kondisi pasar ideal di mana tidak ada subsidi yang berperan untuk menurunkan biaya sebenarnya yang harus dibayar. Capacity to pay adalah salah satu parameter ukur lain yang diperlukan. Daerah DKI Jakarta dan beberapa kota besar lainnya relatif memiliki daya bayar yang lebih tinggi dibanding misalnya daerah Maluku atau Nusa Tenggara. Adalah wajar bila mereka membayar sedikit lebih banyak atas kualitas yang mereka nikmati.

Sebagai contoh regionalisasi tarif mungkin dapat dibagi atas 3 tarif regional : tarif Jawa Madura Bali,tarif non Jamali ( Jawa Madura Bali ) tapi terhubung ke grid utama listrik dan tarif non Jamali yang tidak terhubung ke grid utama listrik ( sebagai contoh pembangkit listrik tenaga surya di daerah pedalaman ). Tarif Jawa Madura Bali harusnya lebih mahal karena kualitas jaringan ( didukung oleh sistem interkoneksitas Jawa Bali ) dan juga daya bayar yang lebih tinggi. Tarif non Jamali yang tidak terhubung ke grid harusnya menjadi tarif paling murah karena kualitas layanan berada pada tahapan minimum dan juga daya bayar masyarakat yang rendah.
Usulan ketiga adalah dengan rasionalisasi tarif dengan membedakan tarif peak dan tarif non peak serta penciptaan tarif non subsidi berbasis tarif disinsentif. Tarif peak dan non peak seringkali dinyatakan sebagai rate time of use ( rate berdasarkan waktu pemakaian ). Tarif peak dan non peak sendiri dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi dynamic pricing atau real time pricing. Dengan sistem tarif yang lebih smart atau cerdas maka akan dibutuhkan juga sistem metering dan billing yang lebih cerdas. Sistem metering dan billing yang lebih cerdas dapat menyediakan informasi yang cukup di tangan pengguna dan dari sana pengguna yang bijak dapat mengatur sendiri penggunaan listriknya . Sebagai contoh kebiasaan membuat kue dengan oven listrik bisa dipindahkan ke waktu siang di mana tarif listriknya lebih murah. Di samping itu juga smart metering dapat mengurangi pencurian,kecurangan,kemudahan pemutusan layanan listrik jarak jauh dan juga rekoneksi kembali jarak jauh. Dari sini kita melihat adanya pelayanan konsumen yang lebih baik dan juga peningkatan penghasilan seiring berkurangnya biaya ( seperti tidak diperlukannya lagi pengiriman petugas untuk melakukan pemutusan listrik ).

Tarif disinsentif sendiri mengenakan tarif yang lebih tinggi apabila pemakaian listrik melebihi ambang tertentu. Tentu saja dengan adanya ambang ini maka pelanggan dituntut untuk berhemat bila tidak ingin membayar lebih mahal. Penetapan ambang pemakaian dalam tarif ini sendiri perlu disurvey secara komprehensif untuk menghindari ketidakpuasan konsumen khususnya karena penetapan ambang yang terlalu rendah.
Usulan keempat adalah efisiensi biaya dan upaya penghematan energi yang perlu dimotori oleh PLN. Gambar 4 memberikan gambaran tentang komponen-komponen biaya produksi dan penyaluran listrik di tahun 2008 dengan elemen tertinggi adalah bahan bakar beserta pelumas diikuti dengan pembelian & rental dan selanjutnya adalah depresiasi.



Gambar 4

PLN sendiri sudah menjadi lokomotif penggerak crash program pembangkit listrik 10,000 MW tahap 1 dan tahap 2 yang akan sangat berperan dalam mengurangi biaya bahan bakar dan pelumas. Harga minyak sendiri sangat berpeluang untuk naik lagi dari level sekarang sekitar 70 – 75 USD ke level di atas 100 USD. Yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan naiknya harga batubara secara tajam di masa depan meskipun sudah diantisipasi dengan DMO ( Domestic Market Obligation ) dan KSO PLN dengan tambang batubara. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa batubara adalah salah satu komoditi yang juga diperlukan oleh banyak negara ( sebut saja China dan India ). Konsep pembangunan pembangkit listrik di tahap 2 dengan mendayagunakan geothermal ( Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia ) dan energi terbarukan lainnya sudah tepat dan perlu lebih diintensifkan. Kita bisa mencontoh Denmark yang berhasil menjadi salah satu kekuatan disegani dalam “green energy” dan “green economy”. . Semua bermula dari krisis minyak di tahun 1970an yang membuat Denmark nyaris kelimpungan karena kebergantungan yang tinggi terhadap minyak dan komoditi tambang lainnya yang diimpor. Denmark sendiri tidak begitu terpengaruh dengan kenaikan harga minyak dan komoditi lainnya yang tajam di tahun 2007 dan 2008. Di saat yang sama Denmark telah berhasil menumbuhkan perusahaan-perusahaan kelas dunia di sektor green energy seperti Vestas. Jelas kita bisa lihat adanya multiplier effect pemberdayaan ekonomi dalam negeri seperti yang dilakukan oleh Denmark.

Penghematan energi yang dapat dimotori oleh PLN antara lain pemasyarakatan penggunaan lampu hemat energi .Di masa lalu PLN sudah pernah bekerjasama dengan ADB dan berdasarkan data penghematan yang bisa diraih oleh PLN sebesar 2,7 trilliun rupiah. Program serupa juga sudah dilaksanakan EGAT ( PLN Thailand ) dan boleh dikatakan sangat berhasil. Dari program 30 persen subsidi di Thailand,setiap baht subsidi akan mampu menarik 3,2 baht dari investasi swasta yang menghasilkan lebih dari 16 baht total penghematan energi selama masa hidup tiap peralatan ( Vongsoasup dan du Pont,2004 ). Program seperti ini jelas dapat dilaksanakan lagi secara lebih luas dan sangat dimungkinkan secara teknologi dengan keberadaan teknologi lampu LED yang lebih hemat lagi daripada CFL yang sudah hemat energi.

Usulan kelima berkaitan dengan pelanggan sendiri. Pengkodean dan standar yang menspesifikasikan dengan jelas efisiensi energi minimum yang dibutuhkan oleh peralatan ataupun bangunan. Pengalaman dari negara lain ( khususnya negara-negara OECD ) telah menunjukkan bahwa ini salah satu usulan paling efektif untuk mengurangi pertumbuhan konsumsi energi tanpa perlu banyak biaya. Pengkodean dapat dilakukan pada bangunan yaitu dengan kode bangunan ( building codes ). Untuk peralatan sendiri dengan mengharuskan pelabelan standar efisiensi energi.
Pilot project peningkatan efisiensi energi juga dapat dilakukan dan menurut penulis bisa dimulai di Jakarta. Kenapa harus Jakarta ? Pertama Jakarta sendiri memiliki masyarakat yang relatif lebih berpendidikan dan mampu. Kedua rasio elektrifikasi Jakarta hampir 100% dengan kualitas layanan listrik yang terbaik di Indonesia. Peluang peningkatan efisiensi energi di Jakarta, cukup besar yaitu sekitar 10% - 30% yang berasal dari seluruh sektor baik industri, komersial, gedung pemerintah dan penerangan jalan umum, maupun rumah tangga. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain melalui :
1. Perbaikan manajemen gedung (konsep green building)
2. Pengaturan jadwal nyala lampu dan pemasangan KWh meter untuk PJU
3. Penyediaan ruang hijau terbuka
4. Perbaikan sistem dan sarana transportasi public
5. Perubahan pola konsumsi energi masyarakat yang lebih efisien. Sebagai contoh pengunaan pendingin ruangan ( AC ). Bila tidak dibutuhkan untuk terlalu dingin ( misal karena musim hujan ) maka cukup diset 24 - 25 Celcius saja sehingga dapat menghemat pemakaian energi listrik.
Kesadaran akan perubahan perilaku dan gaya hidup hemat energi merupakan faktor utama dalam meningkatkan efisiensi energi. Salah satu contoh nyata baru-baru ini di Bangladesh yaitu dikeluarkannya aturan bagi pegawai negeri untuk tidak memakai jas pada musim panas ( kecuali ada acara formal ) karena akan menyebabkan naiknya konsumsi listrik yang tidak perlu oleh pemakaian AC yang tinggi.

Usulan keenam adalah penyaluran subsidi listrik yang sudah bisa dikurangi dialihkan ke sektor energi terbarukan . Untuk saat ini perkembangan sektor energi terbarukan di Indonesia tidak begitu pesat bila dibandingkan dengan China,Amerika Serikat,Jerman,dan berbagai negara lainnya. Salah satu faktor yang kurang adalah bantuan dari pemerintah yang masih sangat dibutuhkan. Amerika Serikat memberikan tax credit yang besar untuk sektor energi terbarukan. Baru-baru ini Amerika Serikat juga mengumumkan skema grant / hadiah untuk mengantikan skema tax credit selama ini. Setiap 1 USD dana pemerintah akan mendukung 2 USD dana swasta yang berarti grant sekitar 30% dari total proyek. California,salah satu negara bagian di Amerika Serikat menetapkan renewable energi portofolios / portofolio energi terbarukan yang tergolong progresif. Sementara China giat membangun proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Di satu sisi China mengembangkan infrastruktur kelistrikan,peningkatan pemakaian energi terbarukan dan di samping itu juga untuk membantu ekonomi dalam negeri mereka karena adanya perusahaan-perusahaan dalam negeri yang memproduksi panel surya dan turbin angin. Hal yang dilakukan di China dapat kita tiru dengan menyalurkan sebagian subsidi listrik untuk pembangkitan listrik energi terbarukan skala besar di mana tanpa subsidi belum akan ekonomis untuk saat ini. Jerman sendiri termasuk salah satu pelopor konsep feed in tariff bagi listrik yang berasal dari energi terbarukan. Dengan konsep feed in tariff maka listrik yang berasal dari energi terbarukan terjamin pembeliannya dan dikompensasi atas capital expenditure yang tinggi di awal proyek. Indonesia sendiri memiliki potensi tinggi untuk PV / panel surya karena intensitas sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun. Pemerintah dalam hal ini dapat membantu dengan skema subsidi bagi pemasangan panel surya di rumah-rumah dan adanya jaminan surplus listrik yang dihasilkan oleh panel surya akan diserap oleh PLN ( dikoneksikan ke grid utama ). PLN sendiri memperoleh keuntungan dengan adanya tambahan pasokan daya listrik meskipun ada resiko jangka panjangnya yaitu kehilangan konsumen yang berhasil berswasembada energi listrik. Dari hasil pengamatan penulis di Jerman awal tahun ini maka kekhawatiran bahwa perusahaan listrik akan kehilangan konsumen karena instalasi panel surya di banyak rumah tangga tidak terwujud. Hal ini disebabkan karena instalasi panel surya biasanya ditujukan untuk mengurangi saja,bukan untuk meniadakan konsumsi listrik dari IPP / Perusahaan listrik di Jerman. Di samping itu intensitas sinar matahari bersifat tidak kontinu misalnya pada musim dingin,hujan ataupun malam hari.

Usulan ketujuh adalah peningkatan partisipasi pemerintah daerah dan BUMD dalam peningkatan penyediaan listrik disertai kemungkinan mekanisme cost sharing dalam subsidi. Hal ini sangat dimungkinkan oleh UU Ketenagalistrikan yang baru disahkan oleh DPR. Perlu diketahui bahwa subsidi yang dinikmati oleh pelanggan saat ini masih berasal dari pemerintah pusat saja. Membesarnya anggaran daerah seiring dengan desentralisasi fiskal yang progresif berarti tersedianya dana yang seringkali tidak dipakai secara optimal bahkan diparkir saja di SBI ( Sertifikat Bank Indonesia. ). Pemerintah-pemerintah daerah yang kaya bisa membantu PLN & BUMD dalam biaya pembangunan infrastruktur pembangkit listrik dan jaringan di daerahnya jadi ibaratnya menyediakan pancingnya daripada menyediakan ikannya sepanjang waktu. Ada baiknya dijelaskan dan dibatasi kriteria pemerintah daerah kaya yaitu mereka yang mempunyai kapasitas fiskal yang tinggi. Kapasitas fiskal daerah merupakan rasio antara total penerimaan daerah ( pendapatan asli daerah,dana alokasi umum,dana bagi hasil,dan penerimaan lainnya tapi tidak termasuk dana alokasi khusus / darurat setelah dikurangi belanja pegawai ) terhadap jumlah penduduk. Dengan bantuan biaya pembangunan ini maka PLN & BUMD bisa mengurangi beban bunga ( bila dana didapatkan dari pinjaman luar dan dalam negeri ),mengatasi kesulitan mencari dana yang ada selama ini ( khususnya bagi proyek di daerah terisolir ataupun dengan daya rendah / menengah yang tidak begitu disukai investor / kreditor ) dan diharapkan dapat meraup margin tanpa perlu mendapatkan subsidi lebih lanjut di fase operasional. Beberapa daerah yang potensial untuk dilibatkan seperti Kalimantan Timur,Riau,Jakarta,Papua,Papua Barat dan lain sebagainya. Skema kerjasama sendiri dapat berupa bantuan dana langsung dari PEMDA ke PLN,PEMDA ke BUMD ataupun pendirian perusahaan joint venture antara PLN dan pemerintah daerah / BUMD.

Usulan kedelapan dan terakhir adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam sektor listrik dengan skema microloan / kredit mikro. Kita bisa mengalihkan sebagian dana subsidi yang sudah bisa dikurangi untuk menyiapkan skema kredit mikro di bidang perlistrikan versi Indonesia dengan sasaran utama masyarakat ekonomi lemah di daerah pedesaan dan terisolir. Koperasi dapat menjadi salah satu motor penggerak skema ini dan sangat dimungkinkan juga oleh UU Ketenagalistrikan yang baru. Adalah penting untuk mengalakkan skema yang dapat sustainable,menguntungkan,dapat dikembangkan lebih lanjut dan bukan suatu yayasan / kerja sosial yang justru tidak akan mengurangi beban subsidi saat ini. Grameen Shakti,anak perusahaan Grameen Bank di Bangladesh di bawah pimpinan Muhammad Yunus,peraih hadiah Nobel tahun 2006 merupakan salah satu contoh sukses yang bisa ditiru. Mereka telah memberikan kredit mikro selama lebih dari 13 tahun untuk instalasi listrik di daerah pedesaan dan terisolir dengan menggunakan panel surya,tenaga angin,biogas,kompor yang lebih baik dan lain sebagainya. Konsep Grameen Shakti sudah teruji dengan pencapaian mengagumkan yaitu 2 juta masyarakat di segenap pelosok Bangladesh merasakan manfaatnya. Indonesia sendiri jelas mempunyai potensi untuk menyamai bahkan melebihi apa yang Bangladesh sudah lakukan selama ini. Semua ini tentunya memerlukan political will yang kuat dari pemerintah untuk sektor kredit mikro dan koperasi.

Dari tulisan di atas yang mengulas tentang evolusi,besaran dan juga usulan-usulan yang dapat ditempuh oleh pemerintah,PLN dan stakeholders energi listrik termasuk pelanggan maka penulis berharap bahwa semua pemangku kepentingan dapat memahami tentang peranan PLN dan pemerintah yang sangat besar selama ini dalam penyediaan energi listrik dengan harga yang terjangkau. Penulis berharap bahwa usulan-usulan yang ada dapat dikaji dan diterapkan lebih lanjut. Penulis percaya bahwa kombinasi pelaksanaan usulan-usulan di atas akan dapat mewujudkan subsidi yang lebih memberdayakan ekonomi masyarakat dan juga penciptaan industri ketenagalistrikan yang dinamis di masa depan. Penulis bersyukur bahwa peranan PLN sendiri tidak akan dikesampingkan dalam UU Ketenagalistrikan yang baru. PLN memang tidak akan sendiri lagi di masa yang akan datang tapi status sebagai “preferred company” yang dijamin dalam UU dan berbekal pengalamannya selama ini maka penulis yakin bahwa PLN akan tetap survive,dominan dan lebih berhasil lagi di masa yang akan datang. Siapa tahu 15 tahun yang akan datang ketika rasio elektrifikasi Indonesia sudah mendekati 100% maka kita dapat melihat PLN yang go internasional membangun proyek-proyek kelistrikan di luar negeri. Akhir kata dengan percepatan pembangunan infrastruktur ( termasuk listrik ) dan pengurangan / reformasi subsidi listrik secara gradual maka kita sama-sama berharap akan mempercepat pencapaian Indonesia sebagai negara maju ( middle income country ) di periode 2025 – 2040.

Sunday, January 03, 2010

Putrajaya, A Role Model Capital For The World

I went to Putrajaya,the capital of Malaysia couple of times in 2009 and it was mainly organized to process my immigration matters as I’m an expatriate here. However I didn’t miss the chance to enjoy and a bit of sightseeing surrounding Putrajaya. Lush greenery, botanical gardens are spread across the landscape enhanced by large bodies of water and wetlands. You can see many beautifully designed buildings and even the street lamps are beautiful. It really make you more interested and curious with it.

Since then I was curious to know better Putrajaya hence I continued it by googling in the internet for so many times. So the brief history is like this. Malaysia began casting around for a new Federal Administrative Centre away from Kuala Lumpur two decades ago. Various sites were identified and five were short-listed. After toying with setting up shop in the neighboring state of Pahang, Tun Mahathir settled on the southern Prang Besar district of Selangor state in June 1993 and launched the project in 1995, naming it after and in memory of Malaysia's first prime minister, YTM Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj. Putrajaya has been used since 1999 when The National Security Division (Bahagian Keselamatan Negara) and Implementation and Coordination Unit (ICU)of the Prime Minister’s Department create history by being the first two government departments to move their operations to the Prime Minister’s Office Complex in Putrajaya. The purpose of Putrajaya is being the capital of Malaysia and at the same time balancing the development away from Kuala Lumpur but still supporting the development in Klang Valley.

Putrajaya sits on a magnificent 4,931 hectares spread and hosting 50,000 people ( mainly are government employee and families ). Its Masterplan is designed along an axial tangent which runs from the northeast to southeast taking full advantage of the natural surroundings.. After 10 years about 40% of Putrajaya is still natural which fit well with the original concept of it as “ garden city “.




Fig.1 Aerial view part of Putrajaya

My mind rambling around and suddenly see the connection among Putrajaya and other purpose built capitals such as Canberra,Brasilia,Islamabad and even Washington D.C.. I visited Canberra,the capital city of Australia back on 2008 and can see high degree of similarities between Putrajaya and Canberra. Both serve as capital city and mainly dominated by government employees & buildings as well. The cities also have been planned to develop further than hosting just government buildings and employees. Canberra is a quiet city but more developed than Putrajaya. It has famous Australian National University and all foreign embassies are already located inside there. Couple of museums and galleries such as Australian War Memorial and National Gallery of Australia located in Canberra which caught my attention as visitor at that time.

Reviewing and comparing further Putrajaya with other cities such as Islamabad and Brasilia we can see that Putrajaya still has a lot of room to develop and grow further. Islamabad,Brasilia and Canberra are more mature and older in history. This 3 cities already host more than just government employees and having its vibrant mix societies,having their own airports,universities and etc. I believe no universities being planned for Putrajaya ( which may not be needed in 5 – 10 years time as number of universities nearby Putrajaya are enough ). Even the KLIA airport is close enough and can easily cater the needs of Putrajaya. The real room to grow then is having vibrant society and well planned city with the main backbone still government employees and diplomatic corps while still preserving the “garden city” concept.

Speaking of diplomatic corps then it’s worthwhile to know that many countries ( 28 by my last account ) already booked and 18 of them already signed agreement to purchase the lots inside Putrajaya Precinct 15 to build their embassies but not much real development has been happening. Large majority still maintain their embassies / consulates in down town KL largely because it’s easier to serve their citizens there, the high cost needed to build new embassy building inside Putrajaya and also no imposition can be done by Malaysian Government. There are two things that can be done. First is to make sure Putrajaya more attractive by offering more incentives.Second is easier access from Kuala Lumpur and Petaling Jaya to Putrajaya. There’s good highway and fast train serving this route now all the way to KLIA but more need to be done on the public transport hence people can travel easier,faster and more cost effective as well. It won’t be a short term thing and learning from Brasilia it might take another 1- 2 decades to reach the point where majority if not all of embassies will be located in Putrajaya.

Vibrant societies can be reflected from their cultural,sport,educational and even night life activities. Private sector certainly will play the main part of it such as running the pub,kiosk, day to day sport facilities and even international school. Attracting more private sector to do business and settle down in Putrajaya should be the main aim of Putrajaya administrator. Remember that Putrajaya planned to accommodate up to 330,000 people, about 6 fold more than now. To enhance the cultural activities and interactions inside it then development of cultural centres such as museum,gallery,concert hall are a must.There are couple of sport competitions done in Putrajaya regularly ( which are good ). Putrajaya can aim further to form or sponsor a sport club with Putrajaya as its home base such as basketball or football club. It would be interesting to watch how the bonding of Putrajaya residents can improve further when they have a “Putrajaya football club” which they can admire and support together.


Putrajaya can be easily a main tourist attraction in Malaysia as well. I remember how Canberra being promoted as tourist destination and load of buses going there from Sydney and other cities. Tourists go there to see the embassy quarter,parliament house,government complexes,museum and etc. Most of it can be offered by Putrajaya as well plus the well preserved greenery. I believe the same has been done here to attract more tourists who visiting Genting and KL to also go to Putrajaya. Facilities such as hotel ( Pullman and etc ) are already there albeit mostly people making a day trip to Putrajaya and seldom stay there except for conferences,meetings and official guests of Malaysian government. Tourism can be a major revenue making here provided a comprehensive package can be sold to foreign tourists for example coupling it with the tour to Cyberjaya and watching a F1 grandprix in Sepang circuit.



Fig. 2 Wawasan Bridge


The Garden City concept can be further coupled with green energy concept. Park and Ride which have been implemented for long time support the use of public transport. This is in turn reducing the usage of private transport and carbon emission which might be resulted from it. Public transport in Putrajaya also already using natural gas as its fuel. Another system that is commonly being used in Putrajaya is Gas District Cooling system, a centralized energy plant using natural gas to generate chilled water for air-conditioning requirements of buildings. The system is not only environmental friendly and practical but in the architectural sense, the building designs will also directly ‘benefit’ from it, as the building designs could make do without Cooling Tower at the roof top. As a result, the façade of the buildings in Putrajaya, mainly the government and commercial buildings are more motivating and appealing whilst building owners can optimise the usage of space. Besides Park&Ride ,natural gas public transport and Gas District Cooling system then Putrajaya can explore and develop more this green concept into reality with the installation of BIPV ( building installed photovoltaic panel ) on the residential and government buildings which can contribute reasonable amount of electricity and heating of water. However the installation of BIPV need to be done properly as not to damage the beauty of buildings in Putrajaya. Waste to energy treatment can be built and applied as well. It has the right size of population ( not too big or too small ) to try this concept citywide. Overall it can contribute to Putrajaya’s future standing as role model for the green capital / city of the world.



Fig.3 Lake view of Putrajaya


Worth to note that Putrajaya already progressing well and on track since its inception. However it still has a lot of room to develop further into a “ real city with vibrant societies”. This opportunity if used properly with most exciting and suitable concepts such as green concept coupled with proper planning can ensure the future growth,sustainability and prosperity of it. Furthermore it can be a role model to other aspiring countries which may plan to move their capital cities to a brand new place for whatever reasons or even to some other aspiring countries which just want to develop new cities eventhough it won’t be as capital. Opportunity to export Malaysia’s experience in developing and managing Putrajaya in the future is something that can’t be underestimated. Many of Malaysian companies and experts involved in Putrajaya project can be engaged and employed overseas. This in return will bring money and investment back and spur Malaysia’s growth futher. Remember that Malaysia need this type of high value added expertises in order to reach the target as developed nation by 2020.

Well,it may be just my wishes and rants as foreigner for now. But I don’t doubt it might be a positive reality in 5 - 10 years more. Will see it soon !!!