Saturday, November 21, 2009

Antara Jembatan Selat Malaka dan Jembatan Selat Sunda

Akhir-akhir ini ramai diberitakan tentang usulan pembangunan megaproyek jembatan selat Malaka dan selat Sunda. Pendukung / proponen megaproyek jembatan selat Malaka dan Selat Sunda mengemukakan pendapatnya masing-masing di media massa dan berbagai diskusi / pertemuan. Bahkan ada laman yang membahas khusus jembatan Sunda dan mungkin juga jembatan Malaka nantinya.

Jembatan Selat Sunda sendiri direncanakan menghubungkan ujung selatan pulau Sumatera ( secara spesifik provinsi Lampung ) ke pulau Jawa ( secara spesifik provinsi Banten ). Pembangunan jembatan sepanjang 30 km ini diperkirakan akan memakan waktu 10 tahun dan biaya sebesar 100 trilliun rupiah dan Rp 500 miliar per tahun untuk operasional jembatan.Bila dibandingkan dengan jembatan terpanjang di Asia saat ini yaitu jembatan Teluk Hangzhou di China yang berjarak 36 km maka jembatan Selat Sunda sedikit lebih pendek saja. Jembatan Selat Sunda rencananya akan dibuat enam lajur kendaraan, masing-masing tiga lajur dalam satu ruasnya. Jembatan selebar 60 meter ini juga dilengkapi dua jalur pejalan kaki dan jalur darurat. Jembatan ini juga akan dilengkapi dua rel kereta.

Ada beberapa manfaat yang ditampilkan dan ditonjolkan dengan munculnya jembatan ini. Pertama adalah mobilitas dan interaksi antara pulau Jawa dan pulau Sumatera akan jauh lebih baik. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 maka pulau Jawa dihuni 59.19% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah total 203,46 juta. Sementara pulau Sumatera dihuni 20.97% dari total penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 240 juta jiwa dengan persentase di Jawa dan Sumatera yang tidak jauh berubah di banding sensus tahun 2000. Tentu saja potensi penduduk yang sangat besar belum termasuk mobilitas tambahan dari penduduk di pulau-pulau lainnya. Saat ini waktu tempuh dari Jakarta ke Bandar Lampung sekitar 6 jam dengan sambungan feri dari Bakauheni ke Merak. Apabila jembatan ini ada maka waktu tempuh pun akan lebih singkat misalnya saja menjadi sekitar 4 jam saja. 2 jam penghematan untuk satu kali perjalanan akan sangat berarti bagi para pekerja komuter ataupun angkutan ekspedisi barang barang cepat rusak / busuk seperti sayur mayur,buah,daging dan lain sebagainya. Pulau Jawa dan Pulau Sumatera adalah 2 pulau dengan penduduk terbanyak di Indonesia serta merupakan tulang punggung utama perekonomian Indonesia. Pulau Sumatera terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya seperti karet,kelapa sawit,batubara,minyak,gas dan lain sebagainya. Sementara pulau Jawa terkenal akan sumber daya manusia yang melimpah,konsumen terbesar,perindustrian seperti tekstil,assembling mobil dsb serta pusat pemerintahan Indonesia yang berada di Jakarta.

Kedua adalah percepatan pertumbuhan di pulau Sumatera dan Jawa. Sumatera Selatan,Riau,Jambi,Sumatera Utara bahkan Aceh yang relatif kaya akan sumber daya alam seperti batubara,gas dan lain sebagainya akan dapat mengirimkan hasilnya ke pulau Jawa sebagai konsumen terbesar secara langsung melalui jalur darat. Sementara beberapa provinsi yang relatif lebih tertinggal yaitu Bengkulu dan Bangka Belitung dapat mengalami percepatan pembangunan. Lampung dan Banten sendiri sebagai tuan rumah dari jembatan ini akan mengalami pertumbuhan yang lebih pesat lagi dari trafik yang melintas di jembatan ini.

Ketiga adalah memperkuat ketahanan dan keamanan wilayah Indonesia. Dengan hadirnya jembatan ini maka otomatis sudah ada 3 pulau yang terkoneksi langsung dengan jalur darat yaitu Pulau Sumatera,Jawa dan Madura. Mobilitas tentara dan polisi Indonesia tentu saja akan lebih baik daripada sekarang yang harus mengandalkan transportasi udara atau laut dengan segala keterbatasannya. Kita tahu bahwa kemampuan alutsista udara dan laut Indonesia masih jauh di bawah kebutuhan sehingga keberadaan jembatan akan sangat memudahkan mobilitas pasukan ataupun polisi lewat jalan darat pada keadaan darurat bencana ataupun perang.

Keempat adalah kepercayaan diri yang cukup besar pada anak-anak bangsa untuk dapat melakukan megaproyek seperti ini yang meningkat tajam dengan suksesnya pembangunan dan operasi jembatan Surabaya Madura ( Suramadu ). Jembatan Suramadu yang mendapat dukungan dana dari China adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara untuk saat ini.

Ada juga pihak-pihak yang tidak mendukung proyek jembatan Sunda dengan berbagai alasan dan motif. Alasan pertama yang sering dikemukakan adalah resiko gempa yang cukup tinggi mengingat Selat Sunda sangat dekat ke daerah patahan dan juga Gunung Krakatau yang masih dapat meletus. Resiko gempa ini perlu dikaji lebih jauh sehingga diharapkan kalau jembatan ini dibangun maka tidak akan membahayakan penggunanya serta dapat digunakan dalam jangka waktu cukup lama tanpa kerusakan berarti ( kita batasi saja 100 tahun ).

Kedua yaitu internal rate of return proyek ini tergolong rendah sehingga sulit menarik investor swasta. Bila pendapatan yang diperoleh investor sebesar US$ 50 juta per tahun untuk penyewaan jalan tol dengan berasumsi bahwa tiap hari jembatan itu dilewati 160 ribu kendaraan. Sedangkan pendapatan sewa fasilitas lain, seperti rel kereta api dan lain sebagainya juga US$ 50 juta per tahun. Dengan asumsi ini maka investasi baru diperkirakan kembali dalam masa 27 tahun. 27 tahun adalah masa yang panjang dan akan sulit menarik investor swasta ke dalamnya.

Ketiga yaitu adanya usulan untuk memperbaiki sistem transportasi laut berbasis jet foil dan feri. Indonesia adalah suatu negara maritim dengan lautannya yang terbentang luas maka wajar saja ada sebagian pihak ingin memperkuat transportasi laut yang ada terlebih dahulu sebelum melangkah ke megaproyek jembatan. Hemat saya untung rugi sistem transportasi laut dan darat perlu dikaji lebih lanjut. Di samping itu keberadaan jembatan tidak akan dapat menghapuskan sama sekali kebutuhan akan transportasi laut yang mumpuni karena kapasitas angkut barang yang lebih besar dan juga sebagai cadangan bila ada gangguan pada jembatan seperti kecelakaan,kemacetan luar biasa,bencana alam dan lain sebagainya.

Keempat adalah Indonesia sudah menandatangani konvensi internasional. Dengan menandatangani konvensi ini maka Indonesia mengakui bahwa ada alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) atau sea line of connection. Konvensi internasional daerah laut mengharuskan selat sunda harus terbuka untuk trafik dunia karena ini menyangkut gerakan maritim dunia. Jadi bila kita membangun sesuatu di Selat Sunda maka harus diyakinkan bahwa semua jenis kapal akan bebas bergerak, termasuk kapal induk dan tanker yang tinggi.

Kelima adalah interaksi ekonomi antar berbagai provinsi justru akan menimbulkan ego dan persaingan antar daerah ( contoh Lampung dengan Sumatera Selatan, Banten dengan Jawa Barat dan lain sebagainya ). Menurut hemat saya maka interaksi ekonomi antar daerah adalah hal nyata dan positif yang tidak bisa dihindari lagi. Persaingan antar daerah untuk lebih maju dan menyerap investasi adalah hal wajar asalkan tidak mengarah pada egoisme kedaerahan dan persaingan tidak sehat. China adalah contoh nyata keberhasilan kompetisi antar daerah menarik investasi khususnya luar negeri sehingga saat ini bukan saja daerah Delta Mutiara ( Guangdong,Fujian dan sekitarnya ),Shanghai atau Beijing yang ramai investasi bahkan sekarang merambah ke Mongolia Dalam dan Xinjiang yang relatif jauh dari tepi pantai dan terisolir dulunya. Namun kita tetap perlu waspada akan bahaya egoisme kedaerahan dan persaingan tidak sehat yang dapat memicu konflik sosial dan juga hadirnya peraturan-peraturan daerah yang tumpang tindih dan saling mematikan.

Bila jembatan Sunda lebih banyak digagas pihak dalam negeri Indonesia maka jembatan Malaka adalah case in point berbeda karena lebih banyak dimotori oleh pihak Malaysia ( dalam hal ini pemerintahan Federal dan negara bagian Malaka ). Berdasarkan penelusuran ide ini pertama kali dilontarkan pada tahun 1995 pada masa pemerintahan Soeharto dan Mahathir Muhammad. Tentu saja proyek ini tidak pernah dilaksanakan karena krisis ekonomi 1997 dan fase pemulihan sesudahnya.

Jembatan Malaka sendiri diusulkan kembali pada akhir tahun 2008 pada suatu acara regional untuk menghubungkan antara Kuala Tinggi,Malaysia ke Dumai,Riau di Indonesia. Untuk biaya diperkirakan menelan sekitar 12.5 miliar dollar AS ( sekitar 125 trilliun rupiah ). Pendanaan sendiri sedang dicari dan tampaknya metoda Private Finance Initiative akan dipakai.

Ada beberapa logika atau justifikasi yang sering dipakai oleh proponen proyek ini. Pertama adalah potensi Sumatera dengan populasi sekitar 50 juta jiwa serta potensi semenanjung Malaysia di mana mayoritas penduduk Malaysia tinggal dan juga pusat utama perekonomiannya ( sekitar 20 juta jiwa atau 80% total populasi ). Potensi tambahan adalah Singapura dengan populasi sekitar 4.5 juta jiwa yang dapat mencapai Kuala Tinggi,Malaysia lewat jalur darat dalam waktu 2 sampai 2.5 jam.

Alasan kedua adalah strategisnya selat Malaka sebagai jalur transit perdagangan dunia. Keberadaan jembatan akan meningkatkan kemampuan kontrol atas selat Malaka oleh Indonesia dan Malaysia. Sekitar 25% barang-barang produksi dunia melintasi Selat Malaka tiap tahunnya. Tentu saja perlu dipikirkan lebih mendalam apakah keberadaan jembatan ini justru tidak akan menimbulkan masalah pada salah satu jalur pelayaran vital dunia ini karena panjang jembatan sekitar 52 km dan ketinggian jembatan yang harus sangat tinggi untuk memungkinkan kapal-kapal besar bisa melintas. Kita tentu saja tidak ingin keberadaan jembatan ini justru menyulitkan atau menutup jalur pelayaran yang vital bagi banyak negara di Asia dan dunia termasuk Indonesia sendiri.

Alasan ketiga adalah jembatan ini tidak akan mengalami bahaya gempa bila dibandingkan langsung dengan kompetitornya saat ini yaitu jembatan Sunda. Menurut saya faktor ini sangat minor dikarenakan teknologi tahan gempa sudah dapat dirancang. Kita dapat belajar dari Jepang dengan teknologi bangunan dan jembatan tahan gempanya yang sangat mumpuni. Kita juga dapat belajar dari China yang sukses dengan jembatan Hangzhounya baru-baru ini.

Ada beberapa isu dan masalah yang akan muncul dengan kehadiran jembatan Malaka ini. Saya akan melihatnya dari perspektif kedua belah pihak yaitu Malaysia dan Indonesia.

Dari Indonesia sendiri isu pertama adalah akan banyaknya wisatawan Indonesia ( khususnya Sumatera ) yang pergi ke Malaysia untuk belanja dan juga turisme medis.Bagi Indonesia ini akan menjadi sumber pengeluaran devisa di samping tidak akan banyak membantu ekonomi dan pembangunan dalam negeri Indonesia sendiri.

Isu kedua yaitu soal pertahanan dan keamanan Indonesia. Baru saja Indonesia sukses mengulung komplotan teroris pimpinan Nordin Mohammad Top yang terkenal dengan pergerakan lintas negaranya. Keberadaan jembatan ini akan sangat memudahkan pergerakan para teroris ke dalam wilayah Indonesia kembali tanpa terdeteksi. Di samping itu bagi Indonesia hubungan Malaysia – Indonesia yang kerap pasang surut ditandai dengan masih adanya klaim produk budaya dan wilayah seperti Ambalat di ujung utara Kalimantan yang kaya minyak maka keberadaan jembatan ini justru dapat melemahkan pertahanan Indonesia. Sumatera adalah bagian penting dari Indonesia. Kedekatan Sumatera dengan Malaysia yang terlalu berlebihan akan dapat membahayakan kesatuan berbangsa dan bernegara baik dalam aspek sosial,ekonomi,politik dan lain sebagainya. Hubungan antara Indonesia dan Malaysia adalah penting tapi hubungan antara Sumatera dengan bagian lain dari Indonesia ( Jawa,Bali,Kalimantan dsb ) jauh lebih penting.

Isu ketiga adalah soal pengelolaan dan mekanisme cost sharing pembangunan jembatan tersebut nantinya. Pemerintah Indonesia sendiri saat ini berusaha membangun infrastruktur yang lebih baik di berbagai pelosok Indonesia seperti jalan tol trans Jawa,jalan lintas Kalimantan,Sulawesi dan lain sebagainya. Kemampuan finansial Indonesia yang terbatas tentu saja memaksa Indonesia harus memprioritaskan proyek yang lebih urgen dan strategis. Hemat penulis maka proyek jembatan Malaka sendiri belum urgen meskipun strategis di masa depan. Hubungan antara Sumatera dan Malaysia sendiri sudah sangat mudah dengan keberadaan feri dan juga transportasi udara ( khususnya Airasia,Firefly dan Garuda )

Isu keempat adalah soal persaingan ekonomi. Tidak dinyana Sumatera memiliki potensi ekonomi sangat besar dengan batubara,gas,minyak,kelapa sawit,karet dan lain sebagainya.Luas lahan yang belum terolah masih banyak. Hutan yang sering terbakar dan mengirimkan asap ke Malaysia dan Singapura juga ada di Sumatera. Potensi tambang batubara dan migas juga masih banyak yang belum terolah. Semenanjung Malaysia sendiri meskipun masih memiliki kekayaan alam seperti kelapa sawit,karet dsb tapi potensi pengembangan lebih lanjut boleh dikatakan terbatas karena keterbatasan lahan. Migas yang ada di lepas pantai timur semenanjung yaitu negara bagian Trengganu dan Kelantan sendiri boleh dikatakan akan segera habis dalam kurun waktu 10 – 15 tahun ke depan apabila tidak ada penemuan ladang minyak dan gas yang berarti. PETRONAS sebagai perusahaan minyak nasional Malaysia sudah bertahun – tahun gencar melakukan investasi di luar negeri sebut saja di Myanmar,Vietnam,Sudan dan sekarang juga di Indonesia. PERTAMINA sebagai perusahaan minyak nasional Indonesia sudah mengalami perbaikan berarti dari segi produksi,reserve dan kemampuan teknisnya tapi kita harus jujur bahwa PERTAMINA masih satu tahap di bawah Petronas sehingga untuk 5 tahun ke depan masih belum dapat bersaing dengan baik khususnya di pengelolaan blok laut dalam dan daerah-daerah sulit lainnya.

Persaingan ekonomi sendiri selalu melibatkan sumber daya manusia. Sumber daya manusia di Sumatera pada dasarnya berlimpah ruah dibanding Malaysia tapi secara keseluruhan kualitas mungkin masih 1 tingkat di bawah Malaysia. Ini dapat dilihat dari ranking HDI ( Human Development Index ) Indonesia yang masih di bawah Malaysia. Berdasarkan laporan HDI tahun 2009 maka Indonesia berada pada rangking 111 sementara Malaysia berada pada posisi 66. Ketertinggalan ini perlu diatasi dulu bila Indonesia tidak ingin mengalami kondisi yang tidak menguntungkan pada era AFTA atau era jembatan Malaka sudah ada di mana jabatan eksekutif dan para direktur di Indonesia akan dipegang oleh orang Malaysia / asing sementara pekerja biasa oleh orang Indonesia.

Bagi Malaysia sendiri ada beberapa isu yang akan muncul. Isu pertama adalah tentang pembiayaan proyek ini. Malaysia sendiri saat ini diguncang korupsi megaproyek PKFZ ( Port Klang Free Zone ) dan proyek-proyek lainnya yang menghabiskan banyak uang negara. Pembiayaan proyek oleh negara masih potensial akan membawa proyek ini menjadi proyek white elephant yaitu megaproyek yang gagal membawa manfaat atau tidak selesai tapi menghabiskan banyak uang. Ada pemikiran untuk menarik biaya tol atas perlintasan kendaraan dan kereta api di atas jembatan ini.Ide ini sudah diaplikasikan di ASEAN Bridge yang menghubungkan Brunei dengan Miri,Malaysia. Perhitungan lebih lanjut dibutuhkan untuk dapat yakin akan feasibilitas dan profitabilitas megaproyek seperti ini. Studi terakhir yang dirilis oleh SOMP ( Straits of Malacca Partnership Sdn. Bhd. ) mengemukakan bahwa trafik kendaraan diperkirakan sebesar 15,000 kendaraan dengan jasa tol diperlukan dalam kisaran 75 USD hingga 85 USD per kendaraan.

Isu kedua adalah banyaknya tenaga kerja ilegal ( 2 juta ) dan legal Indonesia ( 1 juta ) di Malaysia. Sebagian pihak di Malaysia mengkhawatirkan semakin banyaknya pekerja ilegal Indonesia yang akan masuk ke Malaysia lewat jalur jembatan ini. Ketegangan sosial dan kriminalitas pun dikhawatirkan akan naik. Kita maklum bahwa isu tenaga kerja Indonesia di Malaysia bak duri dalam daging yang sering memanaskan hubungan Indonesia – Malaysia.

Isu ketiga adalah persaingan ekonomi. Sebagian kalangan Malaysia mengkhawatirkan bahwa akan banyak orang Malaysia yang akan pergi berlibur dengan berkendaraan pada akhir pekan ke Sumatera ( sebut saja Padang,Bukit Tinggi,Danau Toba dan lain sebagainya. ). Keindahan alam dan kekayaan budaya Indonesia jelas menjadi daya tarik luar biasa bagi wisatawan Malaysia. Harga-harga barang dan makanan di Indonesia yang lebih murah akan menambah minat belanja wisatawan Malaysia pula. Jelas ini akan mengurangi belanja dalam negeri di Malaysia.

Saya sendiri berharap paparan singkat di atas dapat menjadi masukan berarti bagi decision maker di Republik tercinta ini. Kajian teknis,ekonomis,strategis pertahanan keamanan,sosial dan lain sebagainya dari megaproyek jembatan Sunda atau Malaka harus dilakukan dengan matang dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Kita tidak ingin megaproyek yang hanya memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang punya vested interest / proponen saja tapi harusnya bagi kemaslahatan mayoritas bangsa ini. Kita juga tidak ingin punya megaproyek yang akan menjadi white elephant karena perencanaan dan keberlanjutannya tidak dipikirkan dengan baik.Kita mungkin masih ingat peribahasa ” Biar lambat asal selamat ” yang mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu apalagi hal yang sepenting dan sestrategis ini.

Wednesday, November 18, 2009

Produk Otomotif Indonesia Penembus Pasar Global

Baru saja Trade Expo Indonesia 2009 di Jakarta ditutup. Trade Expo Indonesia dengan tema Indonesia Unlimited atau Indonesia Tanpa Batas bisa dikatakan berhasil dengan mencetak rekor transaksi di atas target yang sudah ditetapkan dan banyaknya buyer luar dan dalam negeri. Komponen otomotif sendiri berada di posisi ke 3 setelah sektor jasa / tenaga kerja dan furniture / mebel dan mencetak nilai transaksi sebesar 19.1 juta dollar USD. Kemampuan komponen dan produk otomotif Indonesia memikat para buyer luar negeri ini sungguh sangat membanggakan.

Berbicara tentang kebanggaan terhadap produk otomotif Indonesia maka sering pula kita mendengar ungkapan,keluhan dan lain sebagainya yang bernada negatif tentang industri otomotif Indonesia. Banyak yang langsung membanding-bandingkan industri otomotif Indonesia dengan negeri jiran Malaysia. Mereka mengkritik tentang tidak adanya produk mobil nasional seperti Proton di sana.

Saya sendiri mendapatkan pengalaman berbeda pada saat kunjungan ke luar negeri. Ketika bertemu dengan orang dari Afrika Selatan,Vietnam,Alzajair dan lain sebagainya mereka langsung bercerita dan menyatakan kekagumannya tentang Kijang,Avanza dan Innova. Tentu saja ini bukan tentang hewan Kijang / rusa tapi Toyota Kijang yang juga ada di negara mereka. Mereka sangat jelas mengingat bahwa Toyota Kijang,Avanza dan Innova adalah keluaran / diimpor dari Indonesia meskipun bermerek Toyota dari Jepang. Ingatan yang kuat seperti ini hanya akan muncul bila impresi dan pengalaman yang ada positif.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang industri otomotif Indonesia maka saya akan memberikan sedikit gambaran tentang industri otomotif Malaysia saat ini yang sering dijadikan pembanding. Baru-baru ini Malaysia meluncurkan Kebijakan Otomotif Nasional ( National Automotive Policy ) yang akan menghapuskan sistem Approved Permit bagi impor kendaraan dari luar negeri,pengurangan bea masuk bagi produk otomotif dan spare partnya dari luar negeri serta upaya menjadikan Malaysia sebagai hub produksi otomotif di kawasan Asia bersaing dengan Thailand dan Indonesia. Ada 2 perusahaan mobil nasional yang dimiliki oleh Pemerintah Malaysia yaitu Proton dan Perodua. Di luar itu masih ada perakit seperti Naza,DRB Hicom dan beberapa perusahaan lainnya. Proton sendiri adalah produsen paling besar yang berdiri 26 tahun yang lalu berdasarkan lisensi teknologi dari Mitsubishi Motors Jepang. Proton saat ini sedang mengalami kesulitan yang dapat dilihat jelas dari kapasitas operasi hanya 50% dari total kapasitas yang ada serta masih diperlukannya proteksi dari pemerintah setempat yang notabene uang rakyat untuk tetap bertahan. Saat ini Proton masih mencari partner asing dan yang diincar saat ini adalah Volkswagen,Renault dan General Motors. Volkswagen sendiri hampir menjadi partner proton pada tahun 2007 tapi diskusi yang ada gagal.

Dari bahasan singkat tentang Malaysia kita akan menfokuskan kembali ke industri otomotif Indonesia. Beberapa pengamat dan pejabat menyatakan bahwa Indonesia tergolong terlambat dan . kehilangan momentum sejarah dalam memajukan program mobil nasional dan kalah bersaing. GAIKINDO ( Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia ) sendiri menyatakan bahwa Indonesia baru sanggup unggul di kawasan ASEAN sekitar 5 tahun lagi yaitu tahun 2015. Industri otomotif Indonesia sendiri dianggap belum benar-benar mandiri karena belum memiliki merek sendiri dan dianggap hanya menjadi perakit / tukang jahit semata-mata. Kita perlu menilik sedikit sejarah untuk lebih mengerti tentang industri otomotif kita. Kembali ke era 1993 ke atas di mana Timor didengung-dengungkan sebagai proyek mobil nasional menyaingi Proton Malaysia. Namun kenyataannya tidak demikian karena yang terjadi adalah impor mobil CBU langsung dari Korea ( KIA Motor ) dengan label Timor. Timor sendiri kita ketahui adalah proyek yang gagal karena krisis finansial dan politik di Indonesia. Di samping proyek Timor ada proyek mobil nasional M3 Maleo di bawah koordinasi Menristek saat itu,Prof. B.J. Habibie yang juga kandas di tengah jalan.

Dari sejarah kelam Timor kita juga perlu tahu bahwa Indonesia sendiri mempunyai banyak contoh perusahaan yang berhasil seperti Astra International,Gadjah Tunggal ,Karoseri New Armada Magelang dan lain sebagainya. Ambil contoh saja Astra. Astra sendiri disamping berhasil memproduksi kendaraan bermotor bermerek Jepang yang berkualitas tinggi bertahun-tahun lamanya ( Toyota, Daihatsu,Nissan dan lain sebagainya ) juga sukses merambah sektor bisnis lainnya seperti pertambangan dan teknologi informasi. Astra juga terkenal sebagai salah satu pencetak manager – manager yang unggul di Indonesia.Di samping itu Astra adalah langganan Most Admired Companies sampai ke level Asia ( Wall Street Journal ).

Prof. B.J. Habibie,mantan Menristek dan Presiden RI baru-baru ini dalam seminar “ Indonesia 2045 : Super Power Baru ? “ di ITB Bandung menyatakan pentingnya riset dan teknologi di dalam negeri untuk meningkatkan daya saing bangsa. Sudah lama Indonesia sadar bahwa ia tidak semata-mata dapat mengandalkan keunggulan komparatif semata-mata di masa depan seperti sumber daya alam,sumber daya manusia dan luas bentang wilayah. Bila Indonesia ingin mencapai status negara maju di tahun 2025 atau sesudahnya maka perlu terdapat lompatan ke depan yang ditandai dengan kehadiran knowledge based economy yang tangguh di pentas internasional dan berlandaskan pada nilai tambah tinggi,daya kreasi serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia. Secara singkat dapat kita katakan penekanan pada keunggulan kompetitif.

Industri alat angkut dan otomotif sendiri diharapkan akan menjadi industri utama di Indonesia dalam kerangka knowledge based economy. Kebutuhan dalam negeri memang tetap akan tinggi namun ekspor produk ini juga sangat diperlukan bagi perekonomian Indonesia yaitu membuka lapangan kerja dan mendatangkan devisa non migas dan non komoditi. Kemampuan menembus pasar global produk otomotif jelas menjadi sangat krusial.

Truk Perkasa,keluaran Texmaco sendiri dapat dijadikan contoh produk yang sukses menembus pasar global meskipun Texmaco kurang sukses sebagai perusahaan karena menjadi pasien BPPN dulunya. Truk Perkasa dengan kandungan lokal mencapai 90% sudah berhasil menembus pasar luar negeri bertahun – tahun lamanya. Truk yang dibuat di 2 pabrik milik Texmaco di Subang dan Kali Ungu,Semarang ini sendiri justru tak banyak berseliweran di jalan-jalan Indonesia meskipun pangsa pasar truknya mencapai 10,000 unit per tahun.

GT Radial sebagai salah satu produk ban Gadjah Tunggal Indonesia sukses menembus pasar seperti Australia,Kanada dan Inggris yang notabene sangat ketat persaingannya. Gadjah Tunggal merupakan salah satu pabrik ban otomotif terbesar di Asia Tenggara ini mempunyai komposisi ekspor mencapai 46% dari total produksinya pada tahun 2007. Di samping itu GT sudah sukses mendapatkan berbagai standarisasi dan sertifikasi internasional seperti E-Mark ( Eropa ), TUV Cert ( Jerman ) dan lain sebagainya sebagai bukti pengakuan dan akan sangat menunjang proses ekspansi internasionalnya lebih lanjut.

Dua contoh di atas adalah segelintir produk otomotif Indonesia yang sudah berhasil menembus pasar global. Namun yang tidak kalah pentingnya sekarang ini adalah bagaimana menciptakan lagi GT Radial – GT Radial atau Truk Perkasa - Truk Perkasa selanjutnya yang bisa diekspor dan bersaing di tingkat global.

Mobil bermerek nasional adalah salah satu produk potensial yang bisa dikembangkan. Kita bisa belajar dari saudara kita di Asia seperti China,Jepang,India dan Korea. Hyundai dari Korea memulai posisinya di tahun 1968 sebagai perakit mobil Ford Amerika. Lambat laun mereka belajar dari Ford dan pada medio 1975 sudah berani membuat sendiri mobil dengan merek Hyundai ( dengan dukungan pemerintah Korea tentunya ). Pada masa-masa awal kebergantungan pada ahli-ahli luar negeri tidak ditekan atau diharamkan tapi justru dijadikan sebagai sumber ahli teknologi. Ahli-ahli dari Jepang,Italia,Inggris dan lain sebagainya didatangkan. Berangsur-angsur kualitasnya diperbaiki hingga kita bisa lihat sekarang ini mobil Hyundai berhasil menembus dan disukai di Amerika,China,Rusia,Indonesia dan berbagai negara lainnya. Ini menandakan keberhasilan mereka memperbaiki kualitas produk seiring waktu dan juga menangkap keinginan konsumen. Capacity building yang ada berjalan secara alami,terarah dan tanpa perlu banyak subsidi negara. Kita tentu saja tidak ingin mensubsidi mobil nasional selama 20 tahun atau lebih hanya demi kebanggaan nasional semu atau persaingan reputasi belaka.

Jepang sendiri dalam perjanjian kemitraaan strategis dengan Indonesia ( JIEPA ) telah berjanji akan memberikan bantuan teknis, melalui pusat pengembangan industri manufaktur kepada perusahaan manufaktur Indonesia untuk memenuhi standar kualitas internasional. Sektor otomotif dan suku cadang menjadi salah satu fokus utama bantuan kerjsama teknis ini. Perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki, dan Daihatsu akan menempatkan Indonesia sebagai pusat produksi untuk beberapa komponen utama yang ditujukan untuk pasar ASEAN. Pusat produksi di Indonesia ini akan terhubung dengan unit produksinya di Negara ASEAN yang lain seperti Thailand, Malaysia, Philipina. Peluang bantuan dan kerjasama teknis dari Jepang ini tentunya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya khususnya lagi dalam kerangka transfer teknologi.

Bila berbicara proyek mobil nasional kita tidak akan lupa dengan keberhasilan India mengeluarkan Tata Nanonya baru-baru ini. Mobil paling murah sedunia dengan bandrol harga 20 juta saja memiliki desain khas dan cocok dipakai di jalanan kota yang padat di India dan negara lainnya. Mobil ini rencananya diproduksi sebanyak 250,000 unit per tahun dengan target menengah untuk dipasarkan di Asia Tenggara,Afrika dan Amerika Latin. Bila Tata Nano berhasil mencapai target ini maka India akan masuk dalam jajaran elit eksportir mobil di dunia sekaligus menyumbang devisa bagi negaranya.

Mobil nasional murah untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor saat ini tengah didiskusikan dan coba dikembangkan juga di Indonesia. Paling tidak ada 3 proyek mobil nasional yang berjalan saat ini. Salah satunya adalah mobnas dengan julukan Arina, rancangan tangan-tangan terampil mahasiswa dan dosen dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Jawa Tengah. Selain Arina, ada dua proyek mobnas lain yang lebih dulu diperkenalkan, yakni GEA ( Gulirkan Energi Alternatif ) keluaran PT Industri Kereta Api dan Tawon buatan PT Super Gasindo Jaya. GEA dan Tawon merupakan proyek keroyokan yang dikerjakan oleh dua perusahaan itu secara terpisah, bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mesin yang dipakai untuk proyek-proyek ini murni buatan lokal dan merupakan tanda-tanda menggembirakan. Harga mobil yang murah ( sekitar 30 juta ) dan hemat bahan bakar dapat menjadi nilai lebih dalam persaingan mengaet konsumen.

Trend menggembirakan di mobil nasional dan produk otomotif lainnya sendiri perlu dibantu dan diberikan stimulus oleh pemerintah sehingga suatu saat mimpi mobil nasional bisa diekspor akan menjadi kenyataan. Ekspor mobil yang saat ini sekitar 100.000 unit pertahun sendiri dapat dilipatgandakan di masa yang akan datang. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah yaitu seperti memberikan prioritas pengembangan industri komponen agar menjadi basis produk dan pengembangan desain. Hal ini diperlukan untuk mendongkrak daya saing industri di tengah persaingan global yang makin ketat. Perlu juga adanya integrasi regulasi, pengembangan SDM dan produk menuju riset & development yang sungguhan. Riset & development yang sungguhan akan memberikan jalan bagi mobil nasional dan produk otomotif yang sanggup bersaing tanpa proteksi berlebihan dari pemerintah.

Pembangunan infrastruktur jalan sendiri yang sedang gencar dilakukan akan dapat membantu sektor otomotif di pasar dalam negeri seperti yang sudah dilakukan oleh Malaysia,China dan Jepang . Dengan jalan yang lancar maka kenyamanan berkendaraan akan baik dan orang pun akan berminat membeli atau mencicil kendaraan mereka sendiri.Kemacetan mungkin akan segera timbul sebagai efek samping. Solusi mengatasi macet di kota besar seperti di Jakarta,Surabaya dsb harus dipikirkan bersamaan seperti membangun MRT,monorail dan lain sebagainya. Di sisi lain kehadiran infrastruktur yang baik akan membantu lancarnya ekspor produk seperti pengiriman dari pabrik otomotif ke pelabuhan ekspor.Toyota dan perusahaan lainnya sudah sering meminta kehadiran jalan yang memperlancar ekspor ke pelabuhan Tanjung Priok. Rencana pembangunan pelabuhan khusus ekspor otomotif di Kendal,Jawa Tengah dan Koja,Jakarta pun akan sangat menunjang ekspor mobil CBU & komponen otomotif lainnya. Hal ini kemudian akan membantu pengembangan lebih lanjut wilayah industri di Jabodetabek dan Kendal yang merupakan KEKI ( Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia ).

Pengembangan ekspor di bawah koordinasi Departemen Perdagangan harus diarahkan bukan saja pada pasar tradisional di Asia namun ke Afrika,Timur Tengah,Amerika Latin bahkan ke Amerika Serikat dan Eropa. Malaysia,tetangga kita mempunyai pasar kendaraan berpenumpang terbesar di Asia dengan penjualan kendaraan tahunan mencapai setengah juta unit. Pasar mereka masih terproteksi saat ini tapi seiring waktu harus dibuka juga dan akan menjadi ceruk pasar potensial yang harus terus digarap oleh pabrikan mobil dan komponen otomotif Indonesia.
Saya optimis bahwa produk otomotif Indonesia akan dapat semakin bersaing di masa yang akan datang dengan dukungan pemerintah dan kerja keras semua pihak. Kita tidak perlu takut bermimpi bahwa 15 – 20 tahun mendatang GEA,Arina,Perkasa dan lainnya dapat berseliweran di jalan raya Tokyo seperti mobil Toyota yang saat ini berseliweran di jalan raya Indonesia. Konsep Indonesia Unlimited harus tetap survive selamanya meskipun Trade Expo Indonesia sudah ditutup. Amin !